“Literasi adalah jembatan dari kesengsaraan menuju harapan. Bagi semua orang, dimanapun, literasi adalah, bersama dengan pendidikan secara umum, hak asasi manusia yang mendasar.” (Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Hari Literasi Internasional yang diperingati setiap 8 September sejak dicanangkan UNESCO pada 1967 lahir dari kesadaran global bahwa literasi adalah hak asasi manusia sekaligus fondasi bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi. Gagasan ini berawal dari Konferensi Teheran tahun 1965 yang menegaskan pentingnya literasi dalam mengentaskan kemiskinan, membangun perdamaian, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Meski berbagai kemajuan telah dicapai, data UNESCO menunjukkan bahwa pada 2024 masih ada sekitar 739 juta remaja dan orang dewasa di dunia yang belum memiliki keterampilan literasi dasar. Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika 4 dari 10 anak belum mencapai kemampuan membaca minimum, sementara 272 juta anak dan remaja tercatat putus sekolah pada 2023.

Ketimpangan paling besar dirasakan di negara-negara berkembang, terutama oleh perempuan dan anak-anak yang menghadapi keterbatasan akses pendidikan. Dari fakta ini menjadi menarik untuk melihat kembali dukungan negara terhadap pencapaian kemampuan literasi warganya, khususnya di Indonesia, dengan melakukan studi pada tiga negara dari berbagai kawasan di dunia. Perbandingan ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas mengenai strategi, kebijakan, serta praktik terbaik yang dapat menjadi rujukan dalam memperkuat literasi nasional.
Literasi Bukan Sekedar Baca Tulis
Literasi seringkali dimaknai sebagai baca tulis, padahal jauh daripada itu literasi merupakan gerbang bagi terwujudnya hak asasi manusia lainnya karena dengan literasi yang baik setiap orang dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan perilaku guna membangun budaya perdamaian yang berlandaskan penghormatan terhadap kesetaraan dan keadilan. Di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dijelaskan bahwa Literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa literasi merupakan instrumen penting dalam pemberdayaan individu dan pembangunan masyarakat. Literasi adalah pembuka pintu pengetahuan serta syarat untuk membangun kesadaran, identitas dan daya saing di tengah masyarakat yang terus berubah. Tingkat literasi yang baik memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, serta mendorong terwujudnya masyarakat yang demokratis dan inklusif. Literasi penting ditempatkan sebagai prioritas dalam kebijakan publik, karena keberadaannya dapat membuka akses terhadap pendidikan bermutu, pekerjaan yang layak, serta kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Dukungan Negara terhadap Literasi Warga: Studi Perbandingan Singapura, Eropa, dan India
Dalam rangka meningkatkan literasi dari sebuah negara, bagian yang paling utama adalah dukungan dari negara (pemerintah) terhadap literasi warga negaranya. Sebagai contoh negara tetangga kita, menurut data dari OECD Singapura memiliki tingkat literasi 97.6% pada warga negara yang berusia 15-35 tahun. Jika ditelusuri lebih lanjut, literasi ternyata menjadi perhatian serius dari Kementrian Pendidikan Singapura. Beragam program literasi untuk berbagai jenjang usia disediakan oleh pemerintah. Bagi siswa tingkat lanjut, misalnya, pemerintah meluncurkan National Digital Literacy Programme untuk membekali mereka dengan literasi digital dan keterampilan menghadapi teknologi masa depan. Sementara itu, untuk anak usia dini tersedia Starlight Literacy Programme, yang dirancang untuk memperkuat keterampilan mendengar dan berbicara melalui lagu, puisi, dan aktivitas interaktif. Tidak hanya itu, bagi anak yang mengalami kesulitan belajar, tersedia pula SHINE Children and Youth Service sebagai bentuk intervensi yang membantu mereka mengatasi hambatan literasi sejak dini.
India merupakan salah satu negara di Asia yang terus berupaya meningkatkan tingkat literasi warganya. Kementerian Pendidikan India berkomitmen mendorong peningkatan kemampuan literasi dan numerasi melalui program National Initiative for Proficiency in Reading with Understanding and Numeracy (NIPUN). Program ini merupakan misi nasional yang menargetkan seluruh siswa telah menguasai keterampilan dasar membaca dan berhitung di akhir Grade 3 pada tahun 2026–2027. NIPUN juga menjadi bagian penting dari Foundational Learning Study(FLS) dan National Achievement Survey (NAS) yang diluncurkan sejak 2021 dengan dukungan UNICEF, sehingga memperkuat langkah India dalam membangun fondasi literasi yang berkelanjutan.
Di sisi lain, Finlandia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi yang mencapai 100%. Pemerintah menyediakan beragam program peningkatan literasi yang menjangkau berbagai kelompok usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sejalan dengan inisiatif dari Nordic countries, Finlandia menempatkan literasi sebagai fondasi utama untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan. Tujuan akhirnya bukan hanya memastikan kemampuan membaca, tetapi juga menumbuhkan budaya literasi yang inklusif, kuat, dan beragam, sehingga mendorong kesuksesan dan kehidupan layak bagi warga Finlandia.
Ketiga contoh negara di atas menunjukkan bahwa dukungan nyata dari pemerintah berperan penting dalam meningkatkan literasi warganya. Upaya tersebut tidak hanya diwujudkan melalui penyediaan program literasi yang menjangkau seluruh lapisan usia, tetapi juga melalui dukungan sosial yang mendorong masyarakat untuk memiliki kemampuan literasi yang tinggi. Lebih dari itu, capaian literasi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari budaya membaca yang kuat di tengah masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat kualitas pendidikan dan pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Literasi di Indonesia: Peran Negara dan Keluarga sebagai Garda Depan
Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dengan negara lain dan patutnya hal ini tidak menyurutkan semangat untuk memperbaiki dan meningkatkan literasi masyarakat. Laporan UNESCO tahun 2014 menunjukkan bahwa indeks minat membaca masyarakat Indonesia pada angka 0.001%, yang bermakna dari 1000 orang hanya 1 saja yang berminat membaca. Padahal pemerintah sudah memiliki undang-undang Nomor 3 tahun 2017 yang mengatur berbagai aspek terkait perbukuan di Indonesia. Lalu, kementerian pendidikan juga meluncurkan program gerakan literasi sekolah yang banyak melibatkan institusi sekolah sebagai bagian terdekat dari anak dan membuat program penyediaan buku-buku bacaan melalui gerakan literasi nasional yang diterbitkan secara digital.
Nyatanya, pelaksanaan di lapangan masih kurang diperhatikan oleh para pemegang kebijakan. Membaca buku bagi para murid menjadi sebatas memenuhi tugas. Guru tidak punya cukup waktu untuk berdiskusi kritis hasil membaca murid-muridnya. Pustakawan juga perpustakaan dengan buku-buku bacaan bermutu baik tidak dimiliki semua sekolah secara merata. Kegiatan membaca buku untuk kesenangan belum benar-benar terbangun di masyarakat. Jika literasi melalui membaca sudah membaik maka akan lebih mudah menerapkan literasi digital di era kecerdasan buatan sekarang ini sebab semuanya dimulai dari membaca. Informasi digital apapun yang didapat perlu dikritisi apakah benar atau bohong.
Literasi digital tidak dapat meningkat tanpa adanya peningkatan literasi membaca terlebih dahulu. Kedua hal ini menjadi mata rantai yang tidak bisa dipisahkan. Begitu pula peran antara pemerintah, keluarga, sekolah dan masyarakat yang perlu mendukung peningkatan literasi. Dalam keluarga, peranan orang tua menjadi sangat krusial agar anak senang membaca. Kebiasaan membaca dan mendiskusikan secara kritis antara ibu, ayah dan anak-anak menjadi langkah awal meningkatkan literasi masyarakat. Budaya literasi yang sudah mengakar di rumah ini akan tumbuh pesat sebab di luar rumah pun dipupuk dengan kebiasaan baik seperti mencari bacaan lain di sekolah, di perpustakaan publik atau pun di toko-toko buku. Budaya literasi membaca kritis menjadi pondasi kokoh untuk meningkat budaya literasi di era digital.
Artikel ini ditulis oleh Inna Ar, Ika Arira dan Shiva Devy, diedit oleh Ika Arira untuk PhD Mama Indonesia.
Referensi:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan
- UNESCO Literacy Days
- Kurikulum Starlight MOE
- National Digital Literacy Programme
- Nipun Bharat
- Buku Digital Gerakan Literasi Nasional
- Fatimatur Rusydiyah, Evi, et al. Literacy Policy in Southeast Asia: A Comparative Study between Singapore, Malaysia, and Indonesia. doi: 10.26529/cepsj.1214

Sejarah literasi berawal dari melek huruf, digaungkan para penulis dan peneliti
LikeLike