“Ingat bahagia, meski kadang hidup tak baik saja”, OST Jumbo
Halo, nama saya Lintang, seorang ASN yang mendapat kesempatan kuliah S2 double degree di ITB dan Monash University dengan beasiswa Bappenas – Australia Awards untuk Master of International Sustainable Tourism Management. Saya adalah ibu tunggal dengan satu orang anak perempuan yang sekarang berusia 5 tahun. Ketika kuliah di ITB, saya menjalani tiga peran, yaitu sebagai seorang istri, seorang ibu, dan juga seorang mahasiswi. Namun, ketika mulai menjalani dunia akademis di Australia, status saya berubah menjadi ibu tunggal. Tentu ada perbedaan yang saya rasakan ketika kuliah dengan status yang berbeda. Saya tidak hanya harus berkutat dengan perubahan sistem akademis dari kampus Indonesia dan kampus Australia, tetapi juga harus berusaha beradaptasi dengan status, lingkungan, dan peran yang berbeda, terutama dalam menyeimbangkan kesehatan mental.

Jika diingat lagi, awalnya, motivasi saya untuk melanjutkan kuliah adalah untuk pengembangan diri dan karir. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan status, saya menyadari bahwa kuliah ini bukan hanya mengajarkan tentang dunia akademis, tetapi juga personal growth. Tentunya dengan perubahan status, kesehatan mental saya cukup terganggu, tetapi setiap kali melihat anak, saya ingin dia tahu bahwa tidak apa-apa jika dunia tidak berjalan sesuai keinginan kita. Tidak apa-apa dunia terpuruk, asalkan kita tetap semangat untuk menjalani hidup dan bangkit, seperti OST film Jumbo, “Ingat bahagia, meski kadang hidup tak baik saja”. Selama menjalani studi di Melbourne pun saya mencoba mencari distraksi yang bisa menyenangkan saya, yaitu menari. Waktu itu saya dapat kesempatan untuk menari Betawi di festival Indonesia Melbourne. Senang sekali rasanya melihat anak saya berteriak bangga ketika saya nari di atas panggung, “Look, that’s my mommy!”. Begitupun anak saya, Alhamdulillah, karena saya kuliah di Melbourne, anak jadi punya kesempatan untuk sekolah disana. Selama anak saya sekolah di Melbourne, tidak hanya kemampuan bahasa Inggrisnya yang meningkat pesat tetapi juga dia tumbuh menjadi anak yang asertif, berani, dan eksploratif.
Sebagai single-mom yang lanjut kuliah, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah tidak adanya partner dalam mengasuh anak. Seringkali saya kerepotan mengantar jemput anak, sementara harus bersiap-siap kuliah di kampus yang letaknya lumayan cukup jauh. Beberapa kali saya membawa anak saya ke kelas, syukurlah dosen-dosen di kampus sangat suportif. Selain itu, tantangan yang tak kalah sulit adalah aspek finansial. Biaya childcare di Australia sangat tinggi, bisa mencapai 163 AUD/hari. Namun, bersyukur sekali karena sebagai awardee Australia Awards, saya mendapat bantuan childcare subsidy dari pemerintah Australia yang sangat membantu dari segi finansial. Selanjutnya, tantangan yang harus saya hadapi adalah pengaturan waktu. Kuliah, mengasuh balita, belajar dan mengerjakan tugas rasanya melelahkan. Saya seringkali memanfaatkan waktu anak di daycare untuk mengerjakan tugas dan mengorbankan jam tidur malam untuk belajar. Keadaan mental saya yang berantakan pasca bercerai juga cukup mengganggu konsentrasi belajar. Namun, hal ini bisa teratasi karena kampus Monash University adalah kampus inklusif yang memberikan konseling dalam rangka menjaga kesehatan mental.

Menyadari posisi dengan tidak adanya partner dalam pengasuhan anak selama studi, menavigasi dan memodelkan support system yang akan dibangun menjadi bagian penting yang mendukung kesuksesan studi saya. Dalam kondisi ini, saya memahami kekuatan dalam diri kita terbatas sehingga jangan takut untuk minta tolong. Tak lupa saya memperkuat support system yang sudah ada dan mencari info untuk alternatif, terutama untuk menjaga anak ketika ada jadwal kuliah malam. Terkadang saya menitipkan anak di rumah teman (hanya kalau mereka menawarkan), membayar orang untuk menjaga anak saya selama saya kuliah, atau meminta bantuan ibu saya. Selama setahun saya menjalani kuliah di Melbourne, ibu saya tiga kali bolak-balik Jakarta-Melbourne untuk membantu saya menjaga anak.
Sebagai seorang ibu tunggal dan menjalani studi lanjut di luar negeri, saya menyadari bahwa status bukanlah halangan untuk sukses dalam menyelesaikan studi yang sudah dimulai. Meskipun sempat terpuruk, saya harus bangkit dan melanjutkan hidup bersama buah hati dan memberikan contoh ke anak bahwa segala sesuatu harus dihadapi.
Artikel ini ditulis oleh Lintang Annisa dan diedit oleh Inna Ar untuk PhD Mama Indonesia. Lintang dapat dihubungi melalui instagram @lintang.annisa

Sepakat
LikeLike