Studi Lanjut PhD Mama di Negara Ramah Anak 

“Di Swedia, seorang wanita/istri/ibu harus memiliki permanent employment untuk bisa mendapatkan permanent residence, sehingga mereka tetap berdaya.”

Studi di luar Indonesia bagi seorang ibu adalah sebuah tantangan yang cukup besar dan mungkin terdengar sulit untuk dijalani. Meskipun begitu, ternyata ada beberapa wanita Indonesia yang pernah melalui atau sedang menjalani multiperan sebagai seorang pelajar, istri, dan ibu. Pada tulisan ini, bertepatan dengan juga dengan Hari Anak Nasional, tim PhD Mama Indonesia berkesempatan untuk mengobrol santai dengan dua PhD Mama hebat yang sedang menimba ilmu di Swedia dan di Jepang, yaitu Ayuwidia Ekaputri (Widia) dan Meidesta Pitria (Mei). 

“Saat ini saya baru masuk kerja lagi setelah satu tahun maternity leave yang dibayar”, cerita Kak Widia memulai obrolan kami melalui platform online. Hampir delapan tahun Kak Widia hidup di negara yang dingin kawasan Skandinavia, yaitu Swedia, tepatnya di kota Gothenburg, karena mengikuti suami yang pindah untuk studi S3. 

“Anak pertama saya lahir saat saya baru memulai studi S2 di bidang cognitive neuroscience”, kenang Kak Widia. Menurutnya, studi S2 di Swedia itu gratis untuk pasangan yang mengikuti studi/ kontrak kerja sebagai PhD employment. Pada tahun 2019, selepas menyelesaikan studi S2 dan anak sudah berumur satu tahun, Kak Widia mulai merasakan kegelisahan dan ingin kembali bekerja. “Waktu anak saya usia satu  tahun, dia berhak untuk mendapatkan pre-school dan tentunya ini memberikan saya kesempatan untuk berkarya, karena sesungguhnya di Swedia ini, pemerintah sangat mendorong kesetaraan gender dengan mendukung  wanita untuk bisa bekerja. Intinya, pemerintah sangat memfasilitasi wanita dan ibu untuk selalu berdaya dan berkarya,” jelas Kak Widia. Proses mencari kerja ternyata tidaklah mudah, sehingga kak Widia harus mengatur strategi dengan mengambil kelas bahasa, hingga akhirnya mendapatkan temporary contract sebagai nurse assistant di sebuah rumah sakit pendidikan. Dari menekuni pekerjaan ini juga, akhirnya Kak Widia mendapatkan kontrak sebagai PhD employment, yang dimulai sejak Oktober 2023. 

“Tahun 2023 sebenarnya menjadi semacam titik balik dan panen, karena setelah mendapatkan kontrak S3, sebulan setelahnya saya hamil anak ke-2, dan masih memiliki permanent contract sebagai nurse assistant,” cerita Kak Widia dengan sumringah. Sempat agak khawatir di awal kehamilannya karena baru saja memulai studi, namun ternyata lingkungan kerja dan kolega sangat mendukung dan memfasilitasi. 

Widia bersama keluarga di Swedia (foto: dok. pribadi)

“Saat melahirkan, saya punya cuti 240 hari namun masih digaji 70-80% oleh pemerintah melalui badan asuransi negara. Selain itu, suami juga berhak untuk paternity leave dua minggu penuh saat istri melahirkan dan 240 hari parental leave (transferable), namun yang 90 hari wajib diambil oleh suami, contohnya seperti sekarang ini, saat saya sudah kembali bekerja setelah maternity leave, ayah menjaga dua anaknya”, cerita Kak Widia. Secara umum, Kak Widia menilai jika Swedia adalah negara yang ramah dengan anak dan sangat mendukung keterlibatan ayah dalam aspek pengasuhan. Hal ini tercermin dalam bentuk fasilitas yang diberikan oleh negara dan kebijakan pemerintahnya. 

Selain Swedia, di kawasan Asia ada negara yang ramah anak untuk tujuan studi PhD Mama, seperti misalnya di Jepang. Bagi Kak Mei, pilihannya untuk melanjutkan S3 di Jepang dengan membawa serta buah hati adalah hal yang tepat, karena departemen, supervisor, dan lingkungannya ternyata sangat mendukung ibu yang menempuh studi S3. “Saat ini saya melanjutkan S3 di bidang urban food governance di Kyoto University, namun studi lapangannya fokus di 3 kota di Indonesia, sehingga paling tidak satu tahun sekali harus ke Indonesia”, cerita Kak Mei. Kebetulan suami Kak Mei bekerja sebagai dosen, yang membuatnya tidak bisa menemani studi. “Di sini anak yang ikut orang tua studi berhak mendapatkan pendidikan usia dini dan daycare secara gratis, atau dikenal dengan hoikuen. Di sekolah anak-anak ini mendapatkan penguatan karakter dan pembiasaan, sehingga mereka bisa lebih mandiri sejak kecil. Karena sekarang anak saya sudah usia sekolah dasar, pemerintah juga masih memberikan subsidi sekolah bagi anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja”, jelas kak Mei yang saat ini studi dengan beasiswa dari JSPS, Jepang. Ternyata selain biaya pendidikan anak, biaya asuransi kesehatan anak di Jepang dipukul rata sebesar 200 yen dan biaya transportasi gratis hingga usia 6 tahun. Hal ini bisa menjadi aspek nilai tambah untuk Jepang sebagai negara ramah anak untuk tujuan studi. Menurut kak Mei, perjalanan studinya cukup baik, ”Kendalanya saat ini mungkin lebih pada proses pengasuhan karena anak mulai bertanya, kapan bisa berkumpul lagi dengan ayah. Selain itu, pola komunikasi dan pengelolaan emosi untuk seorang ibu yang studi dengan membawa anak tanpa suami juga membutuhkan adaptasi ekstra”.

Mei bersama keluarga di Jepang (foto; dok. pribadi)

Baik Kak Widia dan Kak Mei menyampaikan bahwa studi S3 dengan anak yang dijalani membuat mereka berusaha untuk selalu mengatur waktu dengan lebih baik dan efisien, baik tugas rumah tangga maupun tugas studi. Akhirnya, negara tujuan studi yang ramah dengan anak tentunya turut mendukung keberhasilan studi PhD Mama dimanapun berada. 

Artikel ini ditulis oleh Inna Ar dan diedit oleh Shiva Devy untuk PhD Mama Indonesia. Mama Widia dapat dihubungi melalui Instagram @diadiawidia dan Mama Mei dapat dihubungi melalui Instagram @meidesta.

One thought on “Studi Lanjut PhD Mama di Negara Ramah Anak 

Leave a reply to asrohmandar69 Cancel reply