Antara Pendidikan, Keluarga dan Pengorbanan

Dalam menjalani kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada suatu pilihan. Tidak ada pilihan yang benar dan salah. Tentunya di tiap pilihan akan selalu ada konsekuensinya. Seperti Gita Putri Damayana yang memilih melanjutkan studi S3 di Australia National University (ANU). Wanita yang akrab disapa Gita ini adalah seorang profesional yang memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun di Civil Society Organization (CSO) yang mengelola program reformasi hukum di Indonesia. Ia juga sebagai Wakil Dekan Riset Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sejak Oktober 2020.

Keputusannya melanjutkan studi membuatnya harus rela kehilangan banyak hal. Termasuk kehilangan waktu dan kedekatan fisik dengan anak-anaknya. “Saya sangat menikmati interaksi dengan teman anak-anak dan pergaulan dengan sesama ibu-ibu di sekolah,” ujar wanita berkacamata ini. Selain itu, Gita juga menikmati momen-momen lain seperti mengambil rapor anak.

Namun kehilangan ini tidak membuat istri dari Faaris Pranawa berkecil hati. Ia sadar dengan konsekuensi yang dipilih. Justru ia menganggap bahwa keluarga yang lebih banyak berkorban untuknya. “Karena yang lebih banyak berkorban untuk saya adalah keluarga dan orang-orang terdekat demi pendidikan ini. Jangan sampai pengorbanan mereka sia-sia,” ungkap wanita yang pernah meraih beasiswa S2 Fulbright tersebut. Hal itu yang membuat Gita tetap kuat dalam perjalanannya menempuh pendidikan di School of Regulation of Governance ANU.

Ada pertimbangan tersendiri mengapa Gita memilih melanjutkan studinya di negeri Kangguru melalui beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS). “Karena calon supervisor ada di Australia National University dan Australia merupakan negara yang memiliki kepentingan tinggi dengan Indonesia. Permasalahan penelitian saya studinya tentang Indonesia sehingga butuh kampus dan supervisor yang memiliki ketertarikan serta kepentingan dengan Indonesia. Pertemuan kebutuhan dan kepentingan ini adanya di kampus tempat saya sekarang, yaitu ANU,” jelas Gita.

Di samping itu, Gita melanjutkan studi di jenjang doktoral karena ingin melakukan penelitian secara mandiri dengan kualitas akademik semaksimal mungkin. Menurutnya, pintu pertama untuk bisa melakukan hal itu adalah dengan menyelesaikan Phd. Sulit untuk mengaku sebagai peneliti dengan kualifikasi akademik yang mampu bersaing di tingkat global tanpa mampu menuntaskan penelitian mandiri dalam bentuk studi doktoral.

Gita menuturkan bahwa anak dan suaminya punya hak untuk memiliki ibu dan istri yang tinggal bersama dan adanya interaksi secara fisik. Dengan keberadaan Gita di lain benua seperti ini artinya suami dan anak membiarkan haknya terlanggar demi kelancaran studinya. Terlebih sebagai penerima beasiswa AAS, syaratnya adalah harus hadir secara fisik di Australia. Meski demikian mahasiswa tetap diijinkan keluar masuk Australia selama menginformasikan ke supervisor dan manajemen AAS di kampus masing-masing.

Sejauh ini Gita enjoy dengan perjalanan hidupnya. Meski ada yang harus dikorbankan ia mengaku tidak menyesali keputusannya. “Toh, dalam setiap kehilangan ada hikmah yang bisa kita pelajari, seperti anak-anak belajar bagaimana menghadapi keseharian tanpa ibu, suami yang jauh lebih terlibat dalam rumah tangga serta pendidikan anak. Semua inj jadi pengalaman yang bernilai dalam perjalanan hidup,” kata wanita yang hobi membaca dan nonton film tersebut.

Bahkan apa yang dilakukan Gita mendapat dukungan penuh dari pasangan dan anak-anaknya. Sang suami meski selalu sibuk dalam pekerjaannya selalu siap berkomunikasi dalam segala hal dari mulai soal sekolah sampai urusan rumah tangga. Faaris mengupayakan waktu untuk beraktivitas bersama anak-anak. Dari sini suami juga berusaha mendidik anak-anak agar lebih mandiri dan bertanggung jawab. Pada akhirnya anak-anak memiliki interaksi yang lebih erat dengan kedua orang tuanya. Tidak hanya dekat dengan sang ibu semata, melainkan dengan sang ayah juga. Suami selalu berusaha untuk benar-benar ‘hadir’ dalam keseharian anak-anak, bukan hanya ada secara fisik saja. “Saya pikir ini penting untuk perkembangan pribadi anak,” kata alumnus Universitas Indonesia tersebut.

Hal baik yang ia dapatkan dari ‘pengorbanannya’ itu, anak-anak juga mendapat pesan penting, terutama dari pendidikan gender bahwa dukungan suami bukan hanya soal pemenuhan nafkah.  Tapi juga memberi kesempatan istri yang luas untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Sementara suami “tinggal’ di rumah dan menjalankan peran domestik mengurus rumah tangga. Hal ini merupakan pencapaian luar biasa dari sisi suami saya, tetap bisa menjalankan peran sebagai pencari nafkah dan menjaga garis belakang.

Tidak berhenti pada suami dan anak-anak, keluarga Gita juga memberi support dalam mendukung perjalanan studinya. Karena Gita sekeluarga masih tinggal bersama dengan ibu dan nenek, sehingga tiap anggota keluarga saling mendukung dalam menjalankan perannya masing-masing. Tiap anak memiliki tanggung jawab manajemen rumah tangga masing-masing misalnya si sulung untuk belanja sembako, si anak tengah membeli susu, roti dan telur untuk sehari-sehari dan si bungsu yang mengurus keperluan kucing-kucing peliharaan.

Meski saat ini berjauhan dengan keluarga, nyatanya komunikasi yang terjalin antara Gita dengan anak dan suami masih sangat baik. Sebab komunikasi dan koordinasi berjalan setiap hari. Ternyata perempuan yang melanjutkan studi justru memberi pengalaman hidup yang baru pada keluarga. Ketika ditanya apakah pengorbanan Gita selama ini sudah terbayar, ia justru memberi pandangan lain. “Saya tidak pernah memberi nilai pada apapun yang saya lakukan. Selama saya melakukannya dengan ikhlas dan niat, maka tidak ada yang sia-sia,” jawabnya.

Tulisan berikut merupakan hasil wawancara dengan Gita Putri Damayana yang ditulis oleh Vizcardine Audinovic, diedit oleh Aini  dan dipublish chlara yunita untuk PhD Mama Indonesia. Gita bisa disapa melalui twitter @gitaputrid.

Leave a comment