Whinda Yustisia: Komunikasi dan Negosiasi yang Penting Dilakukan dalam Pendaftaran Universitas di Amerika Serikat

 

Di pagi yang cerah ini, saya berkesempatan untuk mengobrol bersama dengan mbak Whinda Yustisia, seorang dosen di Universitas Indonesia, yang saat ini sedang melanjutkan studi doktoralnya di Loyola University Chicago dengan beasiswa Fulbright. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam di Chicago, namun langit di sana masih terlihat cerah karena kebetulan saat ini adalah musim panas di Amerika Serikat (AS). Saat ini Mbak Whinda memasuki tahun keempat tinggal di Chicago bersama dengan suami dan kedua putrinya. Berikut merupakan intisari obrolan saya dengan Mbak Whinda tentang submission plan, pre-departure orientation, serta visa application dalam aplikasi beasiswa Fulbright.

Submission Plan

 

Submission Plan merupakan dokumen yang disusun oleh Institute of International Education (IIE) selaku perantara antara kandidat penerima beasiswa Fulbright dengan kampus tujuan di AS. Pada dokumen tersebut terdapat rekomendasi 5 universitas pilihan yang dapat dibantu oleh Fulbright-AMINEF dan IIE dalam pembiayaan serta pendaftarannya. IIE yang akan memberi tahu kandidat mengenai persyaratan pendaftaran dan dokumen apa saja yang perlu dicantumkan, termasuk apabila kandidat memerlukan tes ulang TOEFL ataupun GRE. IIE kemudian akan memberikan informasi universitas mana yang memberikan acceptance maupun rejection. Dalam proses pendaftaran, pembayaran admission fee serta negosiasi dengan pihak universitas dilakukan oleh IIE.

Salah satu keunikan di AS memang adalah di mana kita sebagai calon mahasiswa dimungkinkan untuk melakukan negosiasi atas kendala yang dimiliki. Sehingga pembelajaran pentingnya adalah kita harus bisa mengkomunikasikan kebutuhan kita. Apabila memang ada justifikasi, maka pihak universitas akan membantu untuk mencarikan solusi terhadap permasalahan kita tersebut.  Sebagai contoh, Mbak Whinda yang sebelumnya mendapatkan half tuition award berhasil mendapatkan full tuition award dari universitas melalui negosiasi yang dilakukan oleh IIE. Berbeda dengan teaching assistantship, full tuition award tidak mewajibkan mahasiswa untuk bekerja sebagai teaching assistant.

Pre-Departure Orientation (PDO)

Kegiatan PDO berisi aktivitas pembekalan selama 3 hari oleh Fulbright-AMINEF yang diikuti oleh penerima beasiswa sebelum berangkat ke AS. PDO dilaksanakan sekitar dua bulan setelah keputusan final penerimaan di universitas tujuan. Beberapa materi pembekalan yang penting adalah mengenai dokumen-dokumen yang dibutuhkan, tips dalam mencari tempat tinggal, mencari sekolah untuk anak, serta mengenai budaya pendidikan di AS. Untuk program beasiswa dosen, terdapat pembekalan dari DIKTI mengenai hal apa saja yang harus dilakukan selama tugas belajar.

Dalam kegiatan PDO inilah terjadi pertemuan dengan rekan-rekan penerima beasiswa Fulbright seangkatan yang lain (kurang lebih 100 orang) terjadi. Hal yang paling berkesan bagi Mbak Whinda adalah kesempatan untuk mengenal banyak rekan seangkatan, mengingat setelah berangkat dan tinggal menyebar di seluruh bagian AS nanti maka kesempatan untuk bertemu dan berkenalan lebih dekat akan sangat berkurang. Selain itu, materi yang disampaikan sangat bermanfaat, karena AMINEF dan alumni-alumni Fulbright cukup membantu dalam memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam menjalani studi di AS.

Di samping PDO, beberapa penerima beasiswa melakukan kegiatan Pre Academic Training (PAT) selama kurang lebih 4 minggu. Saat itu, Mbak Whinda mengikuti sesi PAT ini di Portland State University, di mana 70% dari kegiatan ini berisi tentang tips how to survive in the US for international students. Selain pendidikan Bahasa Inggris, tips yang didapatkan dari kegiatan PAT antara lain adalah bagaimana cara membuat jurnal, siapa saja pihak kampus yang harus dikenal oleh mahasiswa serta bagaimana cara komunikasinya, siapa yang harus dihubungi ketika ada kejadian darurat/emergency, apa yang harus dilakukan ketika sakit, hingga bagaimana tata cara membayar pajak.

Visa Application

 

Dalam pengajuan pembuatan Visa J-2 bagi keluarga/dependant dari penerima beasiswa, salah satu hal yang paling menantang adalah mempersiapkan dokumen bank statement untuk menunjukkan ketersediaan dana. Bukti ketersediaan dana yang dibutuhkan adalah sebesar 50% dari stipend tahunan untuk dependant pertama, dan 25% untuk dependant berikutnya. Untuk Mbak Whinda yang mengajak 3 dependant, maka dibutuhkan bukti ketersediaan dana sebesar 100% stipend tahunan pada bank statement yang disertakan. Mengenai hal ini, tips yang diberikan oleh Mbak Whinda adalah lekas mempersiapkan persyaratan ketersediaan dana tersebut, misalnya mengenai siapa pihak keluarga yang dapat diminta bantuannya, segera setelah seorang kandidat dinyatakan untuk diterima sebagai penerima beasiswa. Selain itu, bukti ketersediaan dana juga dapat berupa surat pernyataan dari perusahaan atau support dari atasan yang sebaiknya juga disiapkan dari jauh hari.

Pada dasarnya, keikutsertaan keluarga/dependant untuk ke AS bersama dengan penerima beasiswa sama sekali tidak ditanggung oleh Fulbright-AMINEF. Visa J-1 yang dimiliki oleh penerima beasiswa pada umumnya hanya bisa digunakan untuk bekerja di dalam lingkungan kampus, sedangkan Visa J-2 yang dimiliki oleh spouse dapat dipergunakan untuk bekerja di mana saja sehingga dapat menyokong kebutuhan finansial sehari-hari bagi keluarga. Penerima beasiswa dimungkinkan untuk bekerja di luar lingkungan kampus hanya dalam kondisi tertentu, misalnya apabila tidak ada dana dari kampus sehingga mau tidak mau harus bekerja di luar. Apabila memang ada kondisi mendesak seperti itu, penerima beasiswa harus mengajukan izin ke pihak Fulbright terlebih dahulu agar work authorization dapat dirilis oleh mereka.

Hal lain yang perlu dijadikan catatan juga bahwa kebijakan dari Fulbright adalah dependant baru boleh menyusul untuk berangkat ke AS satu semester setelah program dimulai, kecuali apabila penerima beasiswa adalah ibu yang sedang dalam masa menyusui. Hal ini dilakukan agar penerima beasiswa tidak terganggu konsentrasinya dan dapat beradaptasi terlebih dahulu baik di sisi kegiatan akademis maupun pribadinya seperti mencari tempat tinggal dan sekolah bagi anak.

Di akhir obrolan kami, saya mendapatkan tips tambahan dari Mbak Whinda yang ditujukan kepada para perempuan ataupun ibu yang ingin melanjutkan studinya yaitu sebagai berikut.

“Untuk perempuan maupun ibu yang ragu untuk mendaftar karena mengetahui bahwa akan banyak challenge saat menjalani studi doktoral, terutama di luar negeri, tipsnya adalah agar tidak perlu takut terhadap tantangan tersebut. Apabila memang ada keinginan untuk mendaftar, maka dicoba saja. Tidak perlu khawatir karena ketika nanti sudah diterima, maka kita akan mencari tahu apa yang perlu dilakukan dan pada akhirnya dapat melewati dan menyeimbangkannya. Setiap orang pasti akan menemukan titik keseimbangannya, sehingga jangan mundur langkah hanya karena takut tidak bisa survive. Untuk menjalani proses pasti sulit di awal. Kalau dari awal ragu dan tidak yakin maka jalannya akan susah. Kalau yakin, insya allah akan dipermudah.”

Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan Whinda Yustisia yang ditulis oleh Arfinda Setiyoutami, dan diedit oleh Niken Kusuma Hapsari dan Wawat Srinawati untuk PhD Mama Indonesia. Arfinda dapat dihubungi di asetiyoutami@gmail.com.

Leave a comment