Ibu Rumah Tangga Menjemput Gelar PhD

Published by arispamungkas88 on

Studi doktoral erat kaitannya dengan para akademisi yang memiliki kewajiban untuk mendapatkan gelar. Lalu, bagaimana dengan seorang ibu rumah tangga? Apakah tidak ada kesempatan untuk para perempuan hebat ini melanjutkan studi hingga S3?

Seputar pertanyaan tersebut akan terjawab dalam tulisan berikut yang membahas tentang kisah inspiratif dari Talkshow PhD Mama Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 10 Juli 2021 silam dengan judul, “Ibu Rumah Tangga Menjemput Gelar PhD”. Acara yang berlangsung selama ±90 menit ini diadakan secara daring (dalam jaringan), dan dimoderatori oleh oleh Eva Y. Nugraheni, seorang ibu rumah tangga yang telah menyelesaikan studi Magister di Michigan State University. Dua perempuan hebat yang menjadi narasumber dalam acara ini sedang berada di berbeda benua, yaitu benua Amerika dan Australia. Tentunya acara ini berhasil menambah wawasan kita bahwa seorang ibu rumah tangga ternyata dapat dan mampu menjemput gelar Doktoral di luar Negeri.

Kecintaan terhadap ilmu adalah motivasi terkuat untuk melanjutkan study

Rana Islamiyah Zahroh adalah mahasiswa S3 dari University of Melbourne. Ia memiliki kisah yang cukup menarik saat mengawali perjalanan studi S3. Rana tidak pernah menyangka bahwa obrolan singkat dengan sang suami kala ia sedang menempuh studi S2 menjadi titik awal perjalannya dalam menempuh studi S3. Rana memiliki cita-cita ingin langsung melanjutkan studi ke jenjang Doktoral Degree tanpa mencari pekerjaan terlebih dahulu. Alasan utamanya adalah karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan Rana sendiri mengklaim dalam candaannya bahwa jika ada studi hingga S4, maka ia akan mengejarnya.

Cerita lain dikemukakan oleh Eka Oktavia Kurnati, narasumber kedua yang akan memulai Pendidikan Doktoral di John Hopkins University. Eka mengaku belum pernah menempuh perjalanan ke Luar Negeri sama sekali, dan memiliki keinginan kuat untuk dapat sekolah di Luar Negeri bersama suami dan anaknya. Sama halnya denga Rana, Eka pun sangat mencintai ilmu pengetahuan dan dunia akademik, namun ia terhambat dengan subjek studi saat S1 dan S2 yang pada waktu itu lowongan pekerjaan sangat terbatas, sehingga ia memutuskan untuk mengambil gap years dengan menjadi ibu rumah tangga.

Hal senada juga dirasakan oleh narasumber ketiga Cahya Yunizar. Dengan latar belakang seorang copywriter di salah satu agen periklanan, ia termotivasi untuk melanjutkan studi S2 dan S3 sekaligus dengan bidang studi yang berbeda dari pendidikannya saat S1, yakni Family Social Science di University of Minnesota. Besar harapannya untuk memberikan perubahan di kampung halamannya khususnya pada remaja putri yang memutuskan menikah dini namun ternyata kurang memahami terhadap issue Kesehatan reproduksinya.

Perjuangan mencari supervisor dan beasiswa pun dimulai

Hampir setiap mahasiswa yang memiliki keinginan untuk melanjutkan studi ke Luar Negeri rasanya begitu erat kaitannya dengan topik pencarian supervisor dan beasiswa. Hal tersebut juga berlaku bagi ketiga narasumber yang memiliki kisah unik dalam perjalanan mencari pembimbing sekaligus beasiswa. Eka misalnya, Ibu yang memiliki satu anak ini langsung mencoba untuk daftar Jardine Scholarship dengan universitas tujuan yaitu University of Oxford. Tentu saja dengan minimnya pengalaman yang tertulis di CV sekaligus kurangnya nilai IELTS, harapannya pun kandas. Ia lantas tidak langsung menyerah, bahkan justru lebih bersemangat lagi dengan langsung mendaftar kursus IELTS di Kota Kembang baik offline maupun online. Selanjutnya membuat daftar list nama universitas dan supervisor yang ada di portal LPDP. “Sebanyak kurang lebih 50 supervisor saya hubungi, namun yang merespon hanya dua orang saja.” ungkapnya. Dua supervisor yang ia sebutkan berasal dari Universitas Columbia dan Universitas John Hopkins. Dan memutuskan Universitas John Hopkins  menjadi pilihan dengan pertimbangan biaya hidup.

Kisah lain datang dari Rana yang tampaknya cukup beruntung dapat bertemu dengan calon supervisor di dua bulan terakhir menjelang kelulusan program Magisternya. Meskipun ia sempat memiliki keinginan untuk melanjutkan S3 di Canada atau Amerika Serikat, kebaikan dan kecocokan pola pikir yang ia miliki dengan sang professor membuatnya rela untuk tetap sekolah di almamater yang sama dengan S2 dulu, University of Melbourne. Bahkan kemudahan datang beruntun, mulai dari tanpa perlu menulis proposal riset maupun wawancara. Tidak hanya itu, Rana juga langsung otomatis dapat mendaftar beasiswa yang banyak tersedia di kampusnya untuk tuition fee maupun biaya hidup. “Waktu S2 saya dapat Australia Awards Scholarship ini ibarat induk dan itik, jadi pihak beasiswa sangat amat memfasilitasi awardee agar siap dan membaur saat di perkuliahan.” Jelasnya. Sedangkan saat S3, Rana mendapatkan beasiswa dari universitas Melbourne untuk tuition fee dan Human Rights Scholarship untuk stipend, di mana si penerima dianggap sudah dewasa dan mengerti apa saja yang dibutuhkan saat kuliah. Perbedaan tersebut juga terasa di pembuatan visa dan tiket pulang-pergi ke tanah air. Untuk AAS dan LPDP menyediakan biaya pembuatan visa sekaligus tiket pesawat pulang-pergi.

Sementara Cahya, merupakan perpaduan kisah dari Rana dan Eka. Cahya langsung melanjutkan studi S3 setelah lulus S2 seperti Rana. Namun, beasiswa yang didapat sama seperti Eka, yakni Graduate Assistantship, yang mewajibkan mahasiswa untuk bekerja sebagai Research Assistant (RA).

  

Cara membagi waktu

Time management rasanya selalu menjadi topik yang perlu dibahas bagi para mahasiswa yang melanjutkan studi S3, terlebih bagi para Ibu mahasiswa yang membawa serta keluarga  ke Negara tempat ia melanjutkan studi. Ketiga narasumber kompak mengaku bahwa mereka saling berbagi peran dengan suami. Menurut mereka, ini penting dilakukan untuk membagi waktu antara sekolah dan pengasuhan anak. Eka membagikan kisahnya dimana ia dan suami memiliki jadwal mingguan yang telah disepakati bersama. “Karena saya sudah mencari asisten rumah tangga, namun belum ketemu yang cocok, yaa saya dan suami harus bikin kesepakatan jam kerja dan pengasuhan anak.” Ungkapnya. Ia menambahkan bahwa yang menjadi kendala adalah ketika ada jadwal mendadak dan mereka tidak siap. Jika hal itu terjadi, Eva menyiasati dengan menyediakan fasilitas mainan agar anak tidak rewel. Meskipun saat interview, calon supervisor tidak menanyakan secara detail tentang marital status, namun Eka tetap mengkomunikasikan bahwa dirinya hanya bisa bekerja hingga pukul 5 sore agar professor mengerti bahwa ia sudah memiliki buah hati.

 Bagaimana cara menjaga kewarasan emosi

Sudah menjadi rahasia umum jika mahasiswa S3 rentan terkena mental health. “Karena saya dan suami ini type moody jadi bahaya sekali kalau misal kelelahan itu terjadi. Namun saya dan suami sudah sepakat, jika diantara kita memang lelah ya sudah tutup laptopnya kita keluar bareng, cari makan bareng biar fresh.” Jelas Eka. Baik Rana maupun Eka juga sepakat bahwa kuncinya ada komunikasi. Jika lelah butuh me time atau olahraga dan ini  dikomunikasikan secara baik agar suami memberikan support. Kita menggunakan waktu untuk rileks sebentar seperti jalan-jalan atau makan bersama sebelum melanjutkan kesibukan masing-masing.

Harapan dan mimpi setelah lulus S3

Karena ketiga narasumber tidak memiliki ikatan dengan instansi di Indonesia, hal itu tidak menyurutkan mimpi mereka untuk mengabdi ke negara. Mereka sepakat pulang ke Indonesia setelah studi dan mencari peluang kerja untuk berkontribusi. “Negara yang maju itu dilihat dari kesanggupannya membuat wahana terbang baik roket maupun pesawat terbang, saya (dengan keilmuan Teknik Dirgantara) tentu akan kembai ke Indonesia dengan bergabung ke project riset strategis.” Jelas Eka.

Tips Buat Ibu Rumah Tangga yang Ingin melanjutkan study lagi

  1. Luruskan niat. Jadi bila niatnya sudah lurus di tengah perjalanan tidak akan mudah tergoyahkan dengan pendapat siapapun. Karena Wanita berprofesi apapun selalu saja ada yang salah di mata orang.
  2. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Jika niat sudah lurus segera cari jalan dan peluang sebanyak – banyaknya.
  3. Kita semua punya hak yang sama terlepas status kita sebagai seorang ibu, untuk tetap melanjutkan menggapai mimpi maupun melanjutkan studi hingga S3.
  4. Minta dukungan maksimal dari suami dan keluarga besar. Karena mayoritas keluarga yang berpikiran masih conventional akan sangat khawatir kepada seorang ibu untuk sekolah lagi.
  5. Jangan sampai salah pilih supervisor. Karena kita bekerja sama dengan supervisor dalam waktu yang lama usahakan cari supervisor yang juga bisa mengerti kondisi kita sebagai seorang ibu.
  6. Manfaatkan daycare kampus saat sedang mengerjakan deadline tugas dari professor.

 

***

Artikel ini ditulis oleh Aini Khodijah, dan diedit oleh Anfalia dan Wawat Srinawati untuk PhD Mama Indonesia. Aini dapat dihubungi di ainikhodijah@yahoo.com

Categories: studi

0 Comments

Leave a Reply

%d