Serba-Serbi Studi Doktoral di Tanah Air

Published by arispamungkas88 on

 

Menjalani studi S3, di mana pun lokasi studinya, tentu membawa tantangan tersendiri. Tulisan kali ini membahas tentang warna-warni perjuangan studi S3 di tanah air yang dirangkum dari Talkshow PhD Mama Indonesia yang bertajuk “Serba-Serbi Studi Doktoral di Tanah Air”. Talkshow yang diselenggarakan oleh PhD Mama Indonesia beberapa saat yang lalu dan dimoderatori oleh Vidya Prahassacitta (Dosen Bina Nusantara University) dan menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Narwastuyati P. Mbeo atau yang bisa disapa dengan Naya (alumni program S3 Filsafat STF Driyarkara Jakarta), Ati Dwi Nurhayati (S3 di jurusan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB), dan Dian P. Mashari (S3 Sekolah Ilmu lingkungan Universitas Indonesia). 

 

Keluarga merupakan alasan utama dibalik keputusan untuk studi S3 di Dalam Negeri

Mengawali sesi talkshow, Vidya selaku moderator menanyakan mengenai alasan mengapa para narasumber memilih untuk melanjutkan studi S3 di Dalam Negeri. Ketiga narasumber secara kompak menyatakan bahwa sempat terlintas keinginan untuk bisa studi di Luar Negeri sambil membawa keluarga, namun dengan berbagai macam pertimbangan, misalnya orang tua yang saat itu sedang sakit sehingga butuh perhatian ekstra, buah hati yang mengalami masalah medis di usia dini yaitu hypersensitivity pada pencernaan, karir suami yang semakin berkembang, dan keinginan untuk tetap dekat dengan keluarga, membuat para PhD mama ini membulatkan tekad untuk melanjutkan studi S3 di tanah air. Para narasumber percaya bahwa ini adalah keputusan terbaik mengingat kualitas universitas di Indonesia tidak kalah bagus dengan kampus yang ada di Luar Negeri, sehingga dari sisi akademik, para narasumber tetap bisa mendapatkan banyak manfaat dari studinya. 

 

Pentingnya support system Studi S3

Ati sebagai salah satu narasumber meyakini bahwa akan selalu ada sisi positif dan negatif di mana pun kita melanjutkan studi S3. Dengan berbagai pertimbangan, Ati mencoba untuk kembali pada prioritas utamanya, yaitu keluarga. Perjalanan Ati dalam melanjutkan studi tidak selalu berjalan mulus. Ia mengatakan bahwa sempat beberapa kali membatalkan keinginannya untuk mendaftar studi S3, karena ingin fokus mengasuh anak yang masih kecil. Ia begitu menyadari bahwa anak usia dini masih sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu. Itulah yang menjadi alasan utama Ati memantapkan diri untuk melanjutkan studi S3 di Institute Pertanian Bogor (IPB). Dengan begitu ia tetap bisa bekerja sambil mengurus keluarga, sekaligus memulai perjalanan dengan menjadi mahasiswa S3 di waktu yang bersamaan. 

 

Narasumber lainnya yaitu Naya dan Dian juga menyatakan hal serupa.  Meskipun mereka belum berhasil mendapatkan beasiswa S3 ke luar negeri, namun kecintaan akan belajar dan berbagi ilmu, serta semangat untuk melanjutkan studi S3 yang sudah begitu besar membulatkan tekat mereka untuk mendaftar program S3 di Dalam Negeri. Dengan cara ini, baik Naya maupun Dian akhirnya dapat meraih impiannya melanjutkan studi S3 serta tetap dekat dengan keluarga dan teman yang merupakan support system utama bagi mereka. Mereka menegaskan bahwa keberadaan support system nyatanya terbukti sangat mendukung proses berlangsungnya studi.

Tes masih menjadi kunci utama dalam proses pendaftaran S3 di Dalam Negeri

Proses pendaftaran untuk melanjutkan S3 di Dalam Negeri pada umumnya berbeda dengan di Luar Negeri. Ketiga narasumber menyampaikan bahwa secara umum calon mahasiswa S3 di Luar Negeri diharapkan sudah memiliki proposal disertasi serta berhasil mendapatkan pembimbing disertasi, meskipun beberapa kampus tidak menyaratkan hal serupa. Oleh karena itu, calon mahasiswa S3 di Luar Negeri perlu proaktif dalam mencari dan membangun komunikasi dengan calon supervisor di kampus tujuan.

 

Namun, hal berbeda terlihat di Indonesia, calon mahasiswa S3 tidak harus memiliki supervisor atau proposal saat mendaftar program S3. Hal ini dikarenakan proses penerimaan mahasiswa S3 di Dalam Negeri bukan dilihat dari kesiapannya memiliki supervisor yang dapat membimbing disertasi, melainkan dari hasil tes yang diselenggarakan oleh kampus. Sementara, mahasiswa S3 akan mendapatkan pembimbing disertasi/supervisor setelah proses tes berlangsung. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi calon mahasiswa S3 untuk mempelajari persyaratan pendaftaran dan berbagai tes yang akan diujikan untuk lulus seleksi pendaftaran S3. Dari pengalaman pribadi narasumber, mereka perlu melalui beberapa tes seperti, tes TPA Bappenas, tes Bahasa asing (misalnya TOEFL), serta interview pra proposal dengan pihak kampus. 

 

Sistem perkuliahan S3 di Dalam Negeri

Sistem perkuliahan S3 sangatlah beragam di berbagai belahan dunia. Ada yang full riset, ada juga yang menggabungkan antara research dan coursework. Di Indonesia, sistem perkuliahan S3 pada umumnya merupakan kombinasi research dan coursework, di mana mahasiswa harus mengambil beberapa mata kuliah di beberapa semester awal, kemudian menjelang atau justru di pertengahan masa studi, mereka baru dapat melakukan penelitian disertasi.

Pendanaan studi S3 di Dalam Negeri

Sistem pendanaan terkait studi S3 di Dalam Negeri pada umumnya  tergantung pada jenis riset yang dilakukan, terlepas dari SPP per semester tentunya. Penelitian yang berbentuk studi pustaka, meski tidak selalu, tetapi cenderung membutuhkan dana yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian di lapangan.

Nah, bagaimana dengan para narasumber kita?

Baik Naya, Ati, maupun Dian adalah mahasiswa dan alumni S3 yang menggunakan biaya pribadi (self-funding) untuk studinya. Menariknya, Ati mengaku sempat memperoleh bantuan parsial dari universitas tempat ia bekerja, serta mendapatkan dana hibah untuk pelaksanaan riset. Naya, di sisi lain, meskipun juga self-funding, namun pembiayaan di institusi tempat ia studi memberikan kesempatan kepada mahasiswa S3 untuk mengangsur pembayaran maksimal 3 kali dalam satu semester. Hal ini tentunya sangat meringankan para mahasiswa S3. 

 

Nah, sebagai tambahan informasi, apabila kita studi di Indonesia, kemungkinan kita memang masih bisa bekerja di Institusi asal kita, sehingga pada dasarnya kita bisa membiayai kuliah S3 secara mandiri seperti yang dilakukan oleh para narasumber. Namun saat ini, tersedia juga beberapa beasiswa, seperti LPDP, Kementerian Agama, Beasiswa Pendidikan Indonesia, dan lain-lain, yang dapat dijadikan opsi sumber pendanaan studi S3. 

 

Hubungan baik dengan pembimbing (supervisor) adalah hal yang berharga

Pembimbing adalah sosok yang sangat penting dalam masa studi S3, karena mereka yang akan mendampingi mahasiswa dalam menyelesaikan studi selama kurang lebih 4 tahun. Oleh karena itu, mahasiswa perlu berusaha mempertahankan hubungan yang baik dengan para pembimbing. Dalam hal ini, Dian berusaha memanfaatkan koneksi yang dimiliki untuk mendapatkan pembimbing yang tepat. Cara yang ia lakukan diantaranya adalah berusaha mencari informasi dari teman/koneksi lain tentang sosok yang sesuai dengan pribadinya  dan penelitian yang ia jalankan. Selain itu, meskipun tidak dapat bertemu secara tatap muka, Dian juga terus menjaga komunikasi secara online melalui Zoom meeting dengan para promotor dan co-promotor. Terakhir ia mengimbau bahwa jangan sampai mahasiswa S3 mendapatkan pembimbing yang kurang nyaman, karena akan sangat berpengaruh terhadap proses berlangsunya studi nantinya. 

Strategi dalam menyikapi pandemi di tengah kesibukan studi

Menjalani studi S3 di masa pandemi seperti saat ini mungkin terasa tidak mudah. Namun, Ati mengungkapkan bahwa meskipun sempat memiliki aktivitas yang cukup hectic di awal karena harus membagi waktu antara studi dan membantu tiga buah hatinya yang secara bersamaan sedang menjalani school from home, Ati pada akhirnya mampu beradaptasi dengan segala aktivitas yang ia miliki. Ia berbagi tugas dengan suami dalam mengatur urusan keluarga dan berusaha bangun di malam hari untuk mengerjakan disertasi. Strategi ini terasa cukup efektif baginya. 

Hal serupa juga berlaku bagi Dian. Ia memandang bahwa pandemi ini sebaiknya disikapi dengan positif dan perlu dijadikan sebagai momen untuk menjadi produktif. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang malah memulai studi Pasca sarjana di tengah pandemi atau bahkan sekedar mengikuti online short courses

Selanjutnya bagi Naya, manajemen waktu yang baik menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam menjalani studi S3 di tengah pandemi seperti saat ini, meskipun terkadang harus mengorbankan jam biologis. Misalnya, karena pagi hari sibuk mengurus anak dan suami, pekerjaan terkait disertasi akhirnya terpaksa dilakukan di malam atau bahkan dini hari. 

Tips menjalani studi S3 dan menulis disertasi di tengah kesibukan pekerjaan dan kegiatan lain:

  1. Manfaatkan platform digital untuk mencatat bahan bacaan yang sudah dibaca, misalnya menggunakan Evernote, Mendeley, EndNote, dan sebagainya.
  2. Sediakan waktu setiap hari untuk menulis, meski hanya sebentar, misalnya 30 menit sehari. Atau jika memang sangat sibuk, minimal kita lihat dan baca draft disertasi kita sehingga setidaknya kita bisa tetap ingat apa saja yang sudah ditulis dan apa yang harus dituliskan berikutnya. 
  3. Buat target bulanan. Misalnya bulan ini, saya harus mencapai target agar perjalanan PhD tetap pada track yang benar dan selalu ada progress. 
  4. Pastikan keluarga on board, memahami kemauan dan kebutuhan kita sebagai mahasiswa S3.
  5. Pastikan melakukan stress management karena perjalanan studi S3 bisa saja tidak mudah.
  6. Menerima imperfection yang mungkin kita punya dalam menjalani S3. Kita juga harus ingat bahwa disertasi yang baik adalah disertasi yang selesai. Semoga dengan ini, kita bisa lebih ringan dan efektif dalam proses penulisan disertasi masing-masing.

*** 

Artikel ini ditulis oleh Niken Kusuma Hapsari dan diedit oleh Roudhotul Anfalia dan Wawat Srinawati untuk PhD Mama Indonesia. Niken dapat dihubungi di nikenkusumahapsari@gmail.com 

Categories: studi

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: