Talitha Chairunissa : Menjadi Ibu, Istri, Peneliti World Bank dan Mahasiswa Doktoral hingga Berbagi Tips Program Beasiswa LKYSPP, National University of Singapore (NUS).
Kali kedua ini Riva berkesempatan untuk mengobrol bersama Talitha Chairunissa, salah seorang mahasiswa S3 penerima program beasiswa Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP) di National University of Singapore (NUS). Berikut adalah hasil bincang singkatnya.
Halo Mbak Talitha, bolehkah sedikit cerita kesibukan Mbak saat ini?

Selain sebagai mahasiswa doktoral tahun kedua di Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP), saya seorang peneliti ekonomi dengan minat penelitian eksperimental dan quasi-eksperimental. Selama ini, saya aktif melakukan riset bersama dengan Bank pembangunan dan lembaga-lembaga internasional lainnya seperti The World Bank, Asian Development Bank, Abdul Latief Jameel Poverty Action Lab, Evidence for Policy Design, dan Save the Children dalam topik-topik kemiskinan, kesenjangan, serta ilmu perilaku. Saat ini, saya juga sedang mengeksplor tema climate injustice.
Apakah aktivitas Mbak Talitha menuntut untuk mengambil S3?
Pekerjaan dan minat saya sebagai peneliti ekonomi mengharuskan saya untuk memiliki gelar doktoral agar dapat memimpin penelitian secara mandiri. Sejak awal berkecimpung di dunia riset, saya menyadari bahwa mengambil S3 pasti akan menjadi sebuah jalan hidup yang harus di lalui.
Mengapa berkuliah di Lee Kuan Yew School of Public Policy Singapore, dan mengapa mendaftar beasiswa program LKYSPP?
LKYSPP adalah sekolah kebijakan publik terbaik di Asia, yang kurikulumnya dibangun langsung oleh para profesor Harvard Kennedy School 🡪 so, same style, different focus.
Di HKS kita memang bisa mengambil kelas-kelas yang relevan dengan dinamika negara berkembang, tetapi sudut pandang dan konteksnya tetap western, misalnya, gaya kontestasi politiknya, budaya, dan lain sebagainya, sehingga saya merasa konteks Asia sepertinya masih kurang. Selain itu, Singapura menjadi pilihan saya karena sangat dekat dengan Indonesia. Ini memudahkan saya untuk pulang dan bertemu dengan keluarga, apalagi biaya travel juga lebih mudah dan murah. Jadi saya merasa tidak terlalu jauh dari keluarga.
What I knew after: LKYSPP memiliki resource yang cukup besar untuk membiayai mahasiswa doktoralnya secara penuh. Ketika kita mendapat offering dari LKYSPP, umumnya juga akan disertai dengan pendanaan penuh.
What I knew after: Keterwakilan Indonesia di Ph.D program LKYSPP sangat rendah, saya adalah mahasiswa Indonesia kedua di program Ph.D LKYSPP, sementara mahasiswa India dan mainland China bisa sampai 3-4 orang per batch.
What I knew after: LKYSPP really tries to invest in their PhD students, style-nya agak beda, mereka tidak mengambil batch besar untuk nantinya “survival of the fittest”, melainkan start dengan batch kecil (5-6 orang) dan di-nurture sampai lulus.
Sangat menarik untuk beasiswa yang jarang diketahui banyak orang. Bisa diceritakan tentang proses aplikasi beasiswa LKYSPP mulai dari persyaratan dokumen hingga penulisan esai yang telah dilalui Mbak Talitha?
Pada saat itusaya menghadiri acara sesi informasi LKYSPP di Jakarta pada tahun 2018. Di sana, saya berkenalan dengan Head of Admission LKYSPP. Meskipun acara tersebut lebih ditujukan untuk merekrut mahasiswa S2, dia terlihat sangat antusias karena memang jarang sekali ada mahasiswa asal Indonesia yang mendaftar ke program PhD di LKYSPP. Pada acara tersebut, dia menanyakan dimana saya bekerja serta minat-minat penelitian saya, lalu kami bertukar alamat e-mail. Setelah acara tersebut, beliau rutin mengirimi saya e-mail untuk mengingatkan mengenai tanggal akhir pendaftaran ke program PhD di LKYSPP. Jadi, walaupun Head of Admission sudah sangat antusias terhadap profile kita, tentunya kita tetap harus melewati proses menulis application secara resmi ya.
Pertama, always remember that good planning is key. Karena kebetulan saya tidak perlu tes GRE dan TOEFL lagi, sejak pertemuan tersebut, berbekal tanggal deadline yang diberikan oleh Head of Admission, yang pertama saya lakukan adalah mengontak pemberi rekomendasi untuk memberikan informasi rencana saya untuk mendaftar dan meminta kesediaan mereka untuk menulis surat rekomendasi untuk saya. Hal ini penting sekali karena batas akhir mengirimkan pendaftaran umumnya di bulan Desember dimana orang-orang sibuk pergi berlibur, jika berhalangan meng-upload surat rekomendasi sendiri (misal, di bulan Desember para pemberi rekomendasi libur atau tugas ke luar kota), para pemberi rekomendasi umumnya akan mengarahkan kita untuk menyimpan e-mail asisten mereka dan meminta informasi kapan surat rekomendasi selambatnya perlu di-upload.
Jika pemberi rekomendasi kita profesor, umumnya di akhir tahun mereka kebanjiran permintaan rekomendasi, kalau pemberi rekomendasi kita ASN, umumnya di akhir tahun mereka banyak perjalanan dinas. Jadi, benar-benar persiapkan hal ini ya, kita mungkin bisa mendorong diri sendiri untuk buru-buru, tapi sangat tidak sopan jika kita melakukan hal tersebut ke orang lain. Hal yang sama juga berlaku jika kita merasa esai kita perlu di-review atau di-proofread oleh teman atau kolega kita untuk sekedar mendapatkan second opinion. Intinya sih, kalau perlu bantuan, biasakan jangan mepet-mepet.
Dos: Tawarkan apa yang bisa kita persiapkan untuk membantu proses ini. Pemberi rekomendasi saya misalnya, meminta semua kelengkapan aplikasi (CV, essay, proposal penelitian, GRE dan TOEFL). Ini bermanfaat agar mereka memahami minat penelitian kita, kadang-kadang mereka juga lupa kapan kerja dengan kita, atau detail-detail yang penting dalam pekerjaan kita.
Don’ts: Menuliskan surat rekomendasi untuk mereka.
Kedua, alokasikan waktu dengan baik. Misal mencari profesor yang kira-kira minat penelitiannya selaras dengan kita, tidak semua sekolah mengharuskan ini, LKYSPP sendiri menjadikan hal ini opsional. Jika kita sudah punya, ini bermanfaat karena aplikasi kita akan direview langsung oleh profesor yang namanya kita cantumkan. Apakah kita harus kenal? Tidak harus, tapi kalau kenal tentu bermanfaat juga, karena profesor bisa memberikan insight yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas aplikasi kita. Saya sendiri awalnya tidak kenal dengan profesor saya yang saat ini menjadi supervisor, saya hanya mencantumkan nama beliau di aplikasi, dan profesor tersebut beserta satu profesor lainnya mengundang saya untuk wawancara sebelum akhirnya LKYSPP memberikan offer letter kepada saya. Kalau kita tidak menemukan profesor yang selaras minat penelitiannya bagaimana? Tenang saja, LKYSPP akan mencarikannya untuk kita.
Ketiga, buat proposal penelitian, ini adalah satu-satunya dokumen yang cukup panjang untuk ditulis, jadi tidak bisa dadakan. Ingat bahwa ini hanya proposal, penelitian kita nantinya bisa jauh berbeda dari proposal kita (seperti dalam kasus saya, topik mirip, tapi data, pertanyaan penelitian, dan metode penelitian jadi benar-benar berbeda). Tidak ada format pasti bagaimana sebaiknya kita menulis proposal penelitian, dokumen ini hanya merupakan bukti bahwa kita memiliki minat penelitian dan bisa berpikir secara sistematis: yaitu membuat pertanyaan penelitian, lalu mencari data dan memilih metode yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut.
Keempat, menulis essay dan melengkapi dokumen-dokumen lainnya sesuai yang diminta oleh LKYSPP. Setelah memastikan semua lengkap dan sesuai, upload, lalu kembali menghubungi para pemberi rekomendasi (atau asisten yang ditunjuk) untuk memastikan mereka menerima link upload surat rekomendasi. Link ini akan otomatis dikirimkan oleh sistem setelah kita submit aplikasi kita.
Dalam memersiapkan berkas-berkas ini, saya selalu menggunakan gaya storytelling. Aplikasi kita harusnya bisa menjadi suatu kesatuan cerita yang utuh mengenai seorang superhero (diri kita), posisi kita sekarang, tujuan yang ingin kita capai, dan mengapa sebuah proses transformasi (sekolah di LKYSPP, dll.) bisa membawa kita lebih dekat ke tujuan tersebut:
- Melalui CV, kita menceritakan tentang riwayat hidup, pendidikan, pekerjaan, dan beberapa sertifikasi/keahlian kita;
- Melalui essay, kita menceritakan apa yang tidak ada di CV, misalnya aspirasi kita, keberhasilan dan kegagalan kita, apa yang menginspirasi kita. Jadi jangan menceritakan ulang isi CV kita.
- GRE dan TOEFL (jika diminta), adalah dokumen pelengkap untuk menunjukkan bagaimana performa kita dalam standardized test, tidak lebih dari itu. Jika nilai kita tidak sempurna, atau (menurut kita) kurang tinggi, upayakan untuk melengkapi cerita kita dengan upaya-upaya untuk mengisi gap tersebut, seperti: mengambil beberapa short course quant atau academic writing 🡪 tulis di CV atau di berkas pendaftaran kita.
- Lalu, surat rekomendasi adalah bukti dari cerita-cerita kita itu. Kalau kita mengatakan kita berhasil menyelesaikan proyek A, idealnya pemberi rekomendasi kita menguatkan pernyataan kita di surat rekomendasinya. So, really be strategic when choosing your recommender. Utamakan orang yang betul-betul bekerja dengan kita dibandingkan big names.
Momen apa yang paling mengharukan selama perjalanan panjang Mbak Talitha memiliki kesempatan untuk menjadi PhD Mama?
Saya perempuan yang lahir dengan banyak privilege, lahir sebagai perempuan muslim di keluarga kelas menengah atas yang menjunjung tinggi pendidikan. Nenek saya, lahir tahun 1918, dulunya menjabat sebagai eselon 1 Kemendikbud dan merupakan salah seorang perempuan pertama yang berhasil mengenyam Pendidikan master dari luar negeri, dulu beliau sekolah di New Zealand. Ibu saya jebolan sarjana ekonomi dari FEUI. Saya tidak kekurangan role model, untuk saya, meraih pendidikan tinggi itu wajar dan sepantasnya dilakukan oleh seorang perempuan.
Semua terlihat normal sampai akhirnya saya jatuh sakit di tahun 2015. Saya terkena serangan stroke yang melumpuhkan setengah badan. Saya harus belajar duduk, berjalan, makan, memakai baju dan hal lainnya dari awal. Dari biasa melakukan semuanya sendiri, hingga akhirnya banyak dibantu oleh keluarga. Hubungan saya akhirnya semakin dekat dengan keluarga, dan di sini saya menyadari dukungan mereka sangat amat penting.
Mengenyam pendidikan tinggi sebagai seorang perempuan berkeluarga sudah cukup berat, tetapi mendadak menjadi orang dengan disabilitas membuka mata saya mengenai banyaknya standar dan ketidakadilan yang tidak masuk akal di sekitar saya. Meskipun perjalanannya cukup berat, saya tetaplah seorang perempuan dengan privilege dan support system yang sangat kuat, sehingga saya bertekad untuk tetap “represent”. Harapan saya, dunia pendidikan (baik kampus maupun pemberi beasiswa) dan dunia profesional (kantor, lembaga penelitian, dll) harus lebih banyak terekspos dan berinteraksi dengan orang-orang seperti saya agar menjadi semakin inklusif.
Yang mengharukan untuk saya sebenarnya adalah betapa mudahnya itu untuk terjadi, di awal sangat berat karena lembaga-lembaga ini tentu ingin “profesional”, tidak ada dispensasi dan special case, tetapi interaksi dengan seseorang dengan disabilitas benar-benar bisa mengubah paradigma ini. Harapan saya, sekali menjadi inklusif, mudah-mudahan selamanya terus menjadi inklusif.
When we create a system, target the most marginalized group and work to the top. Jika kamu merancang sebuah sistem, pastikan sistem itu lebih mudah dijangkau untuk orang-orang dari kelompok yang paling termarginalkan. Artinya orang-orang kebanyakanpun PASTI akan bisa mengaksesnya, sebagai contoh, sebuah layanan pemberi beasiswa yang inklusif terhadap penyandang disabilitas, pasti akan terbuka terhadap orang-orang non-disabilitas, dan suatu saat, ketika orang-orang non-disabilitas mendadak menyandang disabilitas, layanan tersebut pun akan menjamin hak-hak mereka tetap terpenuhi.
Bagaimana cara Mbak Talitha mencapai Work-Study-Life Balance sebagai Phd Mama yang bekerja di Institusi Internasional dengan budaya perusahaan global.
Menurut saya, work-study-life balance is only a myth tidak akan pernah bisa tercapai. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah be present in what we are currently doing. Di sekolah, fokus ke profesor yang mengajar, bahan bacaan, serta diskusi dengan teman sekelas. Di kantor, fokus ke pekerjaan dan interaksi dengan rekan kerja. Dan di rumah, tentu fokus berinteraksi dengan anggota keluarga. Tidak ada secret formula, semua akan terasa overwhelming, tapi kembali ke poin pertama bahwa “good planning is key”.
Work-study-life balance itu tidak akan pernah tercapai, satu-satunya cara agar kita bisa menuju ke sana adalah dengan bekerjasama dan berbagi tugas. Bagi yang sudah memiliki pasangan, partner kerjasama dan berbagi tugas utama tentunya adalah pasangan. Kita dan pasangan pasti punya kesibukan dan aspirasi masing-masing, tetapi bukan berarti kesibukan dan aspirasi ini tidak bisa dibuat selaras sama sekali.
Ada baiknya libatkan orang-orang terdekat dalam planning tersebut. Minta mereka juga untuk membantu kita soul searching, kita orang yang seperti apa, tujuan besar kita apa, dan lain sebagainya (soul searching juga bisa dilakukan untuk pasangan). Soul searching bersama ini menurut saya sangat bermanfaat untuk merancang timeline bahkan untuk menentukan sekolah tujuan kita. Orang terdekat ini bukan hanya pasangan, tapi juga (kadang-kadang) orangtua, mertua, saudara kandung dan saudara ipar. Melibatkan orang-orang terdekat ini juga bermanfaat untuk mendapatkan dukungan, restu dan doa mereka. Menurut saya, ini berperan besar dalam memberikan rasa damai dan mendukung kelancaran pelaksanaan rencana-rencana kita. Melalui soul searching, saya menyadari bahwa dalam hal studi, saya kekurangan konteks Asia. Saya juga menemukan bahwa saya tidak lagi bersemangat untuk travel jarak jauh bolak-balik dan lebih ingin dekat dengan keluarga saya, sehingga, dalam kasus saya, memilih sekolah di Asia menjadi lebih relevan. Ada banyak sekolah yang bagus di Asia, lalu dengan memertimbangkan kurikulum dan Bahasa, saya memilih untuk menarget LKYSPP.
Dalam ranah dunia professional, sebenarnya tidak jauh berbeda. Dalam banyak kesempatan, kita akan bekerja dalam tim, komunikasi yang terjalin dengan baik antar anggota tim dapat memudahkan proses ini. Misalnya, anggota tim saya harus merawat orangtuanya yang sakit, maka saya akan “back-up” pekerjaannya. Di kesempatan lain ketika saya tidak bisa dinas ke luar kota karena harus mengurus keperluan sekolah anak saya, anggota tim saya akan “back-up” saya. Menurut saya, ini esensi dari sebuah teamwork.
Terakhir, adakah hal lain yang mungkin Mbak Talitha ingin share kepada pembaca Phd Mama Indonesia?
Dunia memang mungkin belum begitu terbiasa melihat perempuan meraih pendidikan tinggi, after all, we are held against impossible standards – harus cantik dan terawat, harus lembut dan keibuan, harus berpendidikan, berprestasi dan berprinsip, tapi…jangan lebih hebat dari pasanganmu, harus memiliki pasangan dan keturunan sebelum batas umur tertentu, kalau terlalu cepat salah, dianggap masih belum cukup bekal dan pengalaman, terlalu lambat juga salah karena dinilai terlalu picky.
Lalu kita juga harus bisa menyeimbangkan peran kita di dunia profesional dan juga dalam rumah tangga. Sebuah tuntutan yang sayangnya tidak diminta kepada rekan-rekan laki-laki di sekitar kita, atau setidaknya bagi rekan-rekan laki-laki sudah diasumsikan “beres”. Unfortunately, it is still like that, mungkin tidak akan berubah dalam waktu lama. Can we really have it all? Of course, we can have it all, tetapi yang jarang diangkat dalam topik ini adalah “bagaimana caranya”. Tidak mungkin seorang manusia, perempuan ataupun laki-laki bisa bekerja, sekolah, mengurus anak dan rumah tangga, dan masih tidur minimal 6-8 jam dalam satu hari, sendirian. Seperti halnya laki-laki yang memerlukan dukungan pasangan dan support system-nya untuk bisa sukses, perempuan juga seperti itu.
Mengapa seakan-akan semua beban dan tuntutan yang tidak masuk akal ini jatuh “hanya” di pundak perempuan? Menurut saya, salah satunya karena keterwakilan perempuan masih rendah sekali dalam dunia professional, apalagi ranah pembuatan kebijakan. Female labor force participation di Indonesia mentok di 50 persen. Betul, memang sudah ada berbagai affirmative actions untuk menempatkan lebih banyak perempuan di parlemen, jajaran menteri, serta posisi-posisi pimpinan di kantor pemerintahan dan juga swasta. Saya sangat mengapresiasi perubahan-perubahan kecil ini. Tapi ini baru langkah awal, betul, salah satu cara untuk menghilangkan gender bias di kepala manusia adalah dengan semakin banyak melihat perempuan di posisi kepemimpinan. Tapi, affirmative actions tersebut tidaklah cukup, karena ada survivorship bias di sini, perempuan-perempuan yang bisa sampai ke posisi PhD atau pimpinan organisasi mungkin memiliki kondisi-kondisi khusus, atau privilege berupa support system yang sangat baik (seperti dalam kasus saya), sehingga mereka bisa meraih posisi-posisi tersebut.
Menggeser gender bias akan memakan waktu lama, yang dapat kita lakukan saat ini adalah turut berpartisipasi dalam upaya tersebut dengan meningkatkan keterwakilan perempuan. Nantinya, ketika kita sudah mencapai posisi puncak, pastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang kita buat untuk institusi yang kita pimpin semakin menghilangkan gender bias ini. Queen bee effect itu tidak seharusnya ada, membuat kebijakan-kebijakan yang inklusif tidak akan menyingkirkan kita, jadi, rekan-rekan laki-laki kita, rekan-rekan sesama perempuan kita, rekan-rekan penyandang disabilitas, rekan-rekan non disabilitas, semua adalah ally yang perlu kita rangkul. We need to work together to put an end whatever bias that exist around us.
*Tulisan ini adalah hasil wawancara Riva Suada dan ditulis sendiri oleh Talitha Chairunissa, serta diedit oleh Anfalia
0 Comments