Film Pangku menghadirkan potret sosial tentang kehidupan perempuan di wilayah pesisir yang hidup dalam tekanan stigma, kemiskinan, dan ketimpangan gender. Melalui tokoh Sartika dan Bu Maya, film ini menunjukkan bagaimana sistem sosial yang tidak berpihak membuat perempuan terus berada dalam posisi rentan. Salah satu adegan yang paling menonjol adalah ketika Sartika, dalam kondisi hamil, menumpang truk tanpa tujuan pasti untuk mencari pekerjaan. Celotehan bahwa perempuan membawa kesialan menjadi simbol stigma yang dilekatkan masyarakat terhadap perempuan hamil yang meninggalkan rumah. Stigma tersebut mencerminkan rendahnya posisi perempuan dalam sistem sosial, di mana kehamilan di luar nikah kerap dipandang sebagai aib moral. Beban ini sepenuhnya dilekatkan pada perempuan, tanpa mempertimbangkan konteks kekerasan, relasi kuasa, maupun keterbatasan ekonomi yang melingkupinya.

Isu gender dalam film Pangku digambarkan secara nyata melalui pengalaman hidup Sartika dan Bu Maya. Sartika tidak hanya menghadapi tekanan ekonomi, tetapi juga diskriminasi sebagai ibu tunggal yang tidak dipandang sebagai orang tua yang seutuhnya. Hal ini terlihat dari kesulitannya dalam mengakses layanan dasar, seperti mendaftarkan anak ke sekolah. Sementara itu, Bu Maya harus menanggung beban ganda sebagai pencari nafkah utama sekaligus pelaku kerja domestik setelah suaminya di-PHK dari pabrik plastik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kemalangan yang dialami kedua tokoh tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa mereka adalah perempuan. Bu Maya, yang diasumsikan sebelumnya berperan sebagai ibu rumah tangga, terpaksa memutar otak untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan akses terhadap pekerjaan formal. Situasi tersebut mendorongnya membuka usaha kopi pangku sebagai jalan keluar paling realistis yang tersedia baginya.
Kopi pangku dalam film ini merepresentasikan bentuk kegiatan ekonomi berbasis gender yang lahir dari tekanan struktural. Jasa ini merupakan bentuk kerja afektif yang termasuk dalam kerja reproduktif, yaitu kerja yang berfokus pada pelayanan, perawatan, dan pengelolaan emosi. Jenis pekerjaan semacam ini umumnya dilekatkan pada perempuan karena konstruksi sosial dan relasi gender yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang melayani. Dominasi perempuan dalam praktik kopi pangku menunjukkan bahwa pilihan ekonomi perempuan sering kali sangat terbatas, sehingga mereka terdorong masuk ke sektor kerja yang tidak aman, minim perlindungan, dan sarat stigma.
Film Pangku juga menyoroti ironi kehidupan masyarakat pesisir yang hidup di dekat sumber penghasil ikan, tetapi justru tidak mampu mengonsumsi ikan. Meningkatnya permintaan komoditas perikanan membuat harga ikan menjadi mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat pesisir marginal. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana kekayaan sumber daya alam tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar jika tidak disertai dengan intervensi dan kebijakan yang adil. Dampaknya sangat terasa bagi perempuan, terutama karena peran gender mereka sebagai penyedia pangan dalam keluarga. Keterbatasan akses terhadap makanan bergizi berujung pada minimnya asupan nutrisi bagi perempuan dan anak, yang semakin memperkuat siklus kemiskinan dan kerentanan.

Kerja perawatan yang dilakukan Sartika dalam mengurus anaknya dan Bu Maya dalam merawat suaminya, sambil terus memikirkan cara mencari makan dan uang, memperlihatkan lemahnya sistem sosial yang seharusnya melindungi perempuan dari kelompok tidak mampu. Situasi ini menunjukkan adanya persinggungan antara ketimpangan gender dan kelas ekonomi. Oleh karena itu, upaya mendukung perempuan yang berjuang seperti Sartika dan Bu Maya harus mempertimbangkan pendekatan interseksional. Ketidakmampuan ekonomi sebagai persoalan struktural membutuhkan solusi struktural, sementara ketimpangan gender menuntut transformasi relasi sosial. Dukungan tersebut tidak hanya berupa penguatan sistem perlindungan sosial, tetapi juga pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, pembagian kerja reproduktif yang lebih adil, serta pembangunan wilayah pesisir yang inklusif dan berpihak pada perempuan. Melalui narasi yang sederhana namun tajam, film Pangku mengajak penonton untuk memahami bahwa kemalangan perempuan bukanlah kegagalan individu, melainkan hasil dari sistem sosial yang timpang dan tidak setara.
Artikel ini diolah melalui wawancara dengan narasumber Hariati Sinaga oleh Dewi, diedit oleh Shiva Devy untuk PhD Mama Indonesia.
Hariati Sinaga adalah pengajar di bidang Kajian Gender di Universitas Indonesia yang memiliki fokus kajian pada isu ketimpangan gender, relasi kuasa, dan dinamika sosial perempuan dalam konteks ekonomi dan budaya. Melalui kegiatan pengajaran dan kajiannya, ia aktif mendorong perspektif kritis terhadap kebijakan dan praktik sosial yang berdampak pada kehidupan perempuan, khususnya kelompok rentan. Email: hariati.sinaga@ui.ac.id.
