Saya Alies Lintang, saat ini sedang menjalani peran ganda sebagai ibu dan akademisi. Semuanya membuat saya banyak menata ulang prioritas, terutama soal bagaimana tetap hadir bagi keluarga di tengah tuntutan akademik. Keputusan untuk menempuh PhD bersama keluarga bukan sekadar pilihan akademis, tetapi sebuah strategi hidup, jawaban atas tahun-tahun Long Distance Marriage yang perlahan membuat keterlibatan saya dalam keseharian anak dan suami terasa terpotong-potong. Dengan berpindah bersama dan menjalani studi dalam satu kota, saya akhirnya menemukan cara untuk berkumpul bersama keluarga.

Sebagai pasangan yang menjalani Long Distance Marriage, saya dan suami sudah mendiskusikan skenario tentang bagaimana tetap bisa tumbuh sebagai keluarga meski tinggal di dua kota berbeda. Pada titik tertentu, kami merasa telah berdamai dengan jarak. Namun, ketika anak kami berusia empat tahun dan kami mengetahui bahwa ia adalah anak neurodivergen, semuanya berubah. Di situlah pemantik perjalanan PhD saya muncul, sebuah perjalanan yang tidak berawal dari ruang akademik, tetapi dari ruang keluarga. Tujuan utamanya: memberikan ruang dan waktu bersama yang cukup bagi anak kami untuk bertumbuh lebih optimal, sesuatu yang sulit terwujud selama kami masih hidup terpisah. Perjalanan PhD ini, pada akhirnya, adalah cara kami menciptakan kehidupan yang lebih hadir untuk satu sama lain.
Selama satu tahun terakhir, saya menjalani ritme Jember – Malang: lima jam di kereta ekonomi, mencicil pekerjaan, lalu tiba dengan satu harapan—bisa memberi perhatian penuh pada keluarga. Setiap Sabtu pagi, kami mengantar anak mengikuti terapi integrasi sensori. Sebagai ibu yang tinggal jauh, saya tidak ingin melewatkan proses penting itu, meski kadang harus merelakannya karena komitmen pekerjaan. Berat rasanya melewatkan momen-momen maternal yang ingin saya hadirkan—menemaninya bermain, mengantar terapi, atau sekadar memeluknya setelah hari yang panjang.
Tidak ada waktu ideal: I did not balance, I juggled, and I made the choice
Indra Nooyi, mantan CEO Pepsi dan salah satu figur penting dalam kepemimpinan perempuan, pernah berkata, “We don’t balance, we juggle.” Sebuah pernyataan yang begitu tepat menggambarkan apa yang saya rasakan sebelum menempuh studi Doktoral di Australia, masa ketika pekerjaan, keluarga, dan persiapan studi lanjut saling berebut ruang dalam hidup saya. Setiap kali membuka buku to-do list, halaman-halamannya selalu penuh dengan agenda pekerjaan: mengajar, rapat, akreditasi, penelitian, pengabdian masyarakat, menjadi panitia kegiatan, dan berbagai urusan kampus lainnya. Begitu padatnya daftar itu, hingga agenda untuk persiapan studi lanjut nyaris tidak pernah tercentang. Suatu hari, saya tersentak. Di antara semua daftar panjang itu, tidak ada satu pun yang mencatat aspek terpenting dalam hidup saya: keluarga. Kesadaran itu membawa saya pada kalimat ke 3 Indra Nooyi, I should make the choice.

(Sumber: Dok. Pribadi)
The art of mindful juggling: 4 Strategi utama
Jadi, pilihan apa yang saya buat? Saya memilih untuk thriving dalam deru hustle living dan mengejar beasiswa untuk studi di luar negeri
Kenapa harus luar negeri? Karena hanya dengan opsi ini saya dan keluarga bisa hidup satu atap. Suami saya dapat mengajukan unpaid leave dan saya bisa fokus sepenuhnya pada studi tanpa kehilangan waktu berharga bersama keluarga. Jika saya melanjutkan studi di dalam negeri, kondisi ini hampir mustahil tercapai, ritme LDM, tuntutan pekerjaan kampus, dan jarak ratusan kilometer akan terus menghabiskan ruang keluarga kami.
Namun, mempersiapkan studi dan beasiswa bukan sesuatu yang mudah ditengah kesibukan, sehingga saya menerapkan empat strategi utama. Yang pertama adalah matriks prioritas (diilustrasikan pada gambar 1), yang membantu saya memetakan pekerjaan berdasarkan dampaknya pada tujuan jangka panjang. Saya mencatat semua tugas, lalu menentukan mana yang perlu segera dikerjakan, mana yang bisa didelegasikan, dan mana yang sebaiknya dilepaskan. Matriks ini juga memudahkan saya menyesuaikan jenis pekerjaan dengan kebutuhan energi— misalnya menempatkan tugas deep thinking di pagi hari saat fokus masih penuh, dan menyimpan pekerjaan ringan seperti administrasi untuk sore hari. Dengan cara ini, saya membuat keputusan dengan lebih sadar, bukan sekadar bereaksi pada hal-hal yang mendesak.

Yang kedua adalah teknik Pomodoro. Untuk mendukung penerapan matriks prioritas, saya merasa perlu memastikan bahwa waktu yang saya investasikan pada setiap tugas digunakan secara efektif. Dengan menerapkan teknik Pomodoro, fokus dan konsentrasi dapat dikelola dengan lebih baik. Metode ini membagi waktu kerja menjadi 25 menit fokus penuh, diikuti 5 menit jeda. Ritme sederhana ini membantu saya menjaga perhatian tetap utuh, mengurangi distraksi, dan menyelesaikan tugas dengan lebih efisien.
Yang ketiga adalah menyusun Nano Milestones, yaitu pencapaian-pencapaian kecil yang menjadi bagian dari pencapaian yang lebih besar. Perjalanan menuju PhD, mulai dari persiapan beasiswa, mencari supervisor, sampai menyusun proposal, terasa sangat besar kalau dipandang sebagai satu blok. Karena itu, saya memecahnya menjadi tujuan-tujuan kecil yang lebih konkret dan bisa dikerjakan satu per satu. Setiap langkah yang tercapai menjadi kemenangan kecil yang membangun momentum, menumbuhkan semangat, dan membuat tujuan terasa lebih dekat.
Yang keempat dan terakhir adalah mindful cycling. Di tengah padatnya peran, saya perlu memiliki rutinitas yang membantu saya kembali terkoneksi dengan diri sendiri. Bagi saya, rutinitas itu adalah bersepeda, bukan sekadar mengayuh, tetapi mengayuh dengan sadar. Setiap pagi, saya mendedikasikan 30 menit untuk benar-benar hadir dalam setiap kayuhan: merasakan napas, mengamati ritme tubuh, dan membiarkan pikiran mengendap perlahan. Cara sederhana ini membantu saya mengawali hari dengan lebih jernih, lebih tenang, dan lebih siap menghadapi berbagai tuntutan.
Strategi-strategi itu akhirnya membawa saya lolos dua beasiswa sekaligus: Australia Awards dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Dengan mempraktikkannya sejak awal, saya bisa menyiapkan semua persyaratan jauh sebelum tenggat. Ada cukup waktu untuk meninjau ulang aplikasi berkali-kali, memperbaiki bagian yang kurang, dan memastikan semuanya benar-benar matang saat dikirimkan. Strategi yang sama juga sangat membantu saya menjalani perjalanan PhD—mulai dari manajemen waktu, menjaga fokus, sampai tetap waras menghadapi berbagai tantangan di sepanjang proses.
Akhir kata, PhD adalah perjalanan hati dan dedikasi sebagai ibu dan juga akademisi, dimulai dari kebutuhan sederhana untuk bisa hadir seutuh mungkin dalam keluarga dan pada saat yang bersamaan merawat aktualisasi diri. Semua strategi kecil, keputusan sadar, dan momen-momen bersana keluarga inilah yang menguatkan langkah saya. Pada akhirnya, perjalanan ini bukan hanya tentang gelar, tetapi tentang cinta, arah, dan keberanian untuk tumbuh bersama.
Artikel ini ditulis oleh Alies Lintang, diedit oleh Russasmita Sri Padmi untuk PhD Mama Indonesia. Alies Lintang adalah mahasiswa PhD di Australia.
