Serial Lanjut Studi 40+: Rahasia Menyiapkan Mental untuk Studi di Usia Matang

Melanjutkan studi di usia yang disebut banyak orang sebagai usia matang atau sekitar umur 40an menjadi hal yang tidak biasa. Namun, usia bukanlah menjadi batas. Walaupun banyak yang perlu dipertimbangkan dan memang menjadi perempuan lagi dan lagi harus memikirkan urusan yang bukan hanya dirinya sendiri. Phd Mama Indonesia bangga pada teman-teman yang menyemai benih-benih harapan studi lanjut itu masih ada, meski usia tak lagi muda. Mereka adalah Dian Fikriani dan Citra Lestari, dua mahasiswi doktoral di Australia. Kami berkesempatan mengobrol dengan keduanya dan membagikan pengalaman terkait menyiapkan mental untuk melanjutkan studi.

Apa yang menjadi motivasi untuk melanjutkan pendidikan tinggi di usia 40an?

Dian menceritakan dua hal yang menjadi motivasi, “Pertama, mimpi saya memasuki dunia akademik sebagai dosen tidak tetap, setelah sebelumnya lama bekerja di lembaga humanitarian dan terakhir bergabung bersama tim peta jalan PAUD di Direktorat PAUD” Semua pengalaman tersebut membuat Dian yakin jika dunia akademik menjadi pilihan strategis untuk terus melakukan advokasi isu-isu yang selama ini diperjuangkan. Menurut Dian, motivasi kedua adalah keinginannya memberi kesempatan pada anak agar mendapatkan pengalaman bersekolah di sistem pendidikan yang berkualitas di luar negeri. “Anakku usia 13 tahun dan duduk di kelas 7, sehingga saya berharap bisa sekalian bersama-sama belajar,” ungkap Dian.

Pengalaman yang mirip diceritakan oleh Citra yang pernah bekerja di development program untuk membantu pemerintah Indonesia dan menjadi dosen paruh waktu di Universitas Multimedia Nusantara. Menurutnya, “Motivasi terbesar adalah alasan personal, supaya anak bisa mengakses pendidikan yang lebih cocok untuk cara belajarnya.” Lebih lanjut, pandemi COVID-19 merupakan momentum Citra membantu seorang rekan menyiapkan proposal S3, sehingga membuatnya kembali tergerak untuk mewujudkan keinginan yang sempat tertunda. Motivasi ternyata diperkuat ketika baru-baru ini, putrinya yang berusia 14 tahun mengatakan, “I’m inspired by you. You’re actually still learning at your age.” Bagi Citra yang merelakan banyak berpisah dengan suami untuk melanjutkan studi di Australia, kondisi ini membuat anak melihat pernikahan sebagai ruang  kompromi, “It’s amazing to see mom and dad try to manage and make it work,” tambahnya menceritakan ucapan putrinya.

Apakah momen atau trigger khusus sehingga memutuskan, “Saya harus melakukannya sekarang”?

Bagi Dian, proses yang cukup lama untuk menjadi penerima beasiswa membuatnya tidak bisa menunda lagi. Setelah lima tahun lulus S2, Dian baru mulai mengupayakan, menulis proposal, dan mendaftar beasiswa. Dian juga dibantu teman-teman yang sudah menjadi dosen. Empat kali penolakan beasiswa pernah dialami Dian mulai dari AAS hingga LPDP. Akhirnya, pilihan Dian fokus ke beasiswa AAS, menurutnya, “Setiap gagal, saya mengambil jeda dan menata perasaan. Berita baik itu datang di percobaan terakhir saat tak terlalu berharap lagi”. Rejeki tak kemana,  justru saat itulah Dian terpilih sebagai penerima beasiswa AAS. 

Dian Fikriani

Saat anaknya sudah memasuki sekolah dasar, Citra mulai terpikir untuk melanjutkan S3. Era pandemi COVID-19 seperti menjadi series of fortunate event. Ia mencoba melamar beasiswa AAS tetapi gagal. Tak kehilangan semangat, di tahun yang sama Citra mendaftarkan proposalnya pada dua universitas dan dua penyedia beasiswa. Tak disangka tahun 2021 itu juga, Citra mendapatkan dua tawaran beasiswa, yaitu  Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Kemendikbud dan beasiswa dari University of Melbourne. Citra pun harus memilih salah satu dan merasa sangat beruntung. Akhirnya, Citra memilih melanjutkan studi S3-nya ke Asia Institute di University of Melbourne. Menurutnya, “Seperti mimpi, beneran akan berangkat? Muncul rasa takut keputusan ini benar atau tidak”. Dalam kebimbangan, Citra menemukan buku Phd Mama Indonesia yang menjadi salah satu penguat dalam rangka pengambilan keputusan

Apakah ada rasa takut tidak bisa, cemas, perasaan “terlalu tua”, keraguan diri/imposter syndrome?

“Saat awal saja, karena kenalan banyak yang lebih muda. Kadang obrolan beda tetapi lama-lama biasa saja,” jelas Dian. Bagi Dian, di usia ini, dirinya sudah mengalami banyak hal, sehingga dapat menghadapi masalah dengan lebih tenang. Pengalamannya lebih kaya dalam melihat isu atau topik riset yang ditekuni menjadikan resource yang berharga. Usia memang lebih tua, tapi Dian yakin punya kelebihan sendiri.

Hal serupa dirasakan Citra ketika melanjutkan S2 di umur 34 tahun. “Itu karena di kelas banyak yang usia lebih muda. Malah ketika S3, karena kelas hanya sedikit, sehingga cukup aman tidak banyak berinteraksi dengan yang lebih muda. Lalu, karena kondisi fisik asian look cenderung kecil jadi tak terlihat tua ya, kecuali mulai beruban,” ungkapnya sambil tertawa.

Menurut Citra, tantangan terbesar itu imposter syndrome: merasa tidak layak ada di sini, merasa kecil, melihat orang lain hebat. Tetapi justru sebagai mahasiswa berusia matang, sudah punya pengalaman, jadi saat ini berusaha menikmati masa belajar dan riset dengan bahagia. 

Citra di kampus University of Melbourne

Mengenai tantangan berupa komentar yang kurang enak dari keluarga, teman atau rekan kerja Dian menceritakan, “Tidak ada komentar negatif secara langsung, ya cuma memberitahu tentang kalau gagal lalu makin tua akan makin susah dapat beasiswa. Ini sebenarnya bukan negatif tapi membuat realistis. Keluarga sangat mendukung dan mendoakan, apapun langkah yang saya ambil.”

Sebaliknya, Citra merasa tidak ada komentar dari luar, namun justru keraguan muncul dari diri sendiri. Rasa bersalah ke anak karena mengejar mimpi, apakah keputusan ini egois atau tidak? Bahkan, menjalani long distance marriage sempat membuat hubungan anak dan ayah merenggang, tetapi dengan banyak ngobrol, semua kembali normal. 

“Saya sempat merasa tidak nyaman karena mertua berkomentar ketika suami sedang sakit dan sendirian di Jakarta. Katanya, aduh suami sakit sendirian dan tidak ada yang ngurus?” kenang Citra. 

Apa persiapan yang paling mendasar untuk diri sendiri dalam menyiapkan mental untuk sekolah lagi?

Dian membagi pengalamannya, “Biasanya lebih susah mencari beasiswa pada usia mature dibanding yang lebih muda. Beasiswa yang disediakan untuk mahasiswa mature itu tidak banyak.”

Bagi Dian, sebelum melanjutkan sekolah di usia 40-an, rasa percaya diri pada diri sendiri menjadi modal penting untuk bergerak menuju cita-cita lanjut studi. Selain itu, adanya dukungan keluarga juga sangat mempengaruhi kesiapan mental untuk menempuh studi PhD. Memulai studi doktoral di usia matang sering kali diiringi dengan berbagai tantangan, seperti kekhawatiran tentang kemampuan berpikir yang melambat, kecepatan beradaptasi dengan teknologi dan metode belajar baru, serta bayangan tentang “usia ideal” mahasiswa doktoral yang biasanya lebih muda. Dalam dunia pendidikan tinggi, citra usia tua terkadang masih diasosiasikan dengan keterlambatan, padahal pengalaman hidup dan kematangan emosional justru menjadi kekuatan tersendiri bagi mahasiswa dewasa.

Saat proses studi sudah dimulai, dukungan dari supervisor, kampus, dan lingkungan pertemanan menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan diri. Interaksi dengan teman-teman lintas usia pun membuka ruang belajar baru—bukan hanya dari teori, tetapi juga dari cara pandang dan pengalaman yang beragam.

Citra menambahkan, “Sebagai mature student justru lebih percaya diri karena sudah melewati banyak hal dan sudah tahu arah riset yang akan dilakukan dan menganggap PhD ini sebagai pekerjaan atau sebagai cuti sabatikal, kesempatan mengeksplorasi diri. Dengan mindset tersebut, persiapan mental menjadi lebih mudah. 

Selain itu, keduanya menceritakan kelebihan Phd saat mature yaitu, anak sudah lebih besar dan bisa diajak kerjasama. Anak juga jadi bisa belajar mandiri dengan budaya dan kebiasaan di Australia yang mendorong anak-anak untuk melakukan semua sendiri, seperti naik kendaraan umum ke sekolah. Ini berbeda dengan teman-teman perempuan dengan anak lebih kecil, sehingga biasanya perlu support yang lebih besar. Bagi Dian dan Citra, bersekolah kembali di usia mature dengan usia anak yang sudah lebih besar, memberi ruang untuk bisa berkompromi  sehingga  suami tidak perlu ikut dan meninggalkan karir di Indonesia. “Meski untuk pilihan itu, perlu mempertimbangkan jarak dengan Indonesia juga ya, supaya tiket bolak balik tidak terlalu mahal,” ungkap Citra.

Kata-kata hari ini: bagi para perempuan yang masih ingin melanjutkan studi di usia 40an?

“Privilise perempuan di atas 40 yang anaknya sudah lebih besar, sehingga punya kesempatan mengeksplor diri bersama anak. Ini jadi seperti perjalanan mengejar mimpi, bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk anak,” ungkap Citra.

Sedangkan Dian, pernah ditanya oleh sang anak, “ibu sudah tua kenapa masih belajar lagi? Belajar tidak melihat umur, keep learning saat ada kesempatan,” jawabnya.

Artikel ditulis oleh Shiva Devy dan diedit oleh Innar Ar untuk PhD Mama Indonesia. Dian dan Citra dapat dihubungi melalui Linkedin Dian Fikriani dan Citra Lestari 

Leave a comment