Avina Nadhila Widarsa, PhD Student, Australian National University
Pada saat kuliah S1 di jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, saya bercita-cita menjadi seorang profesor. Ini dikarenakan saya menemukan keasyikan dalam berbagai kegiatan akademis yakni menulis, mengkaji dan meneliti. Tahun 2011, untuk pertama kalinya, jurusan saya membuka kesempatan “lulus cepat” untuk para mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya dalam waktu 3,5 tahun. Didukung orang tua yang memang ingin anaknya lulus lebih cepat, saya dengan mantap mengambil program tersebut. Maka di tahun ketiga, sembari menjadi asisten dosen, saya sudah berkutat dengan skripsi dan penelitian. Di tahun tersebut pula saya membulatkan tekad bahwa setelah lulus S1 harus langsung mengambil S2, lalu kemudian lanjut S3.

Alhamdulillah cita-cita untuk langsung berkuliah ke jenjang S2 tercapai, padahal saat itu belum ada beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan beasiswa-beasiswa magister lainnya yang mensyaratkan pengalaman kerja minimal 2 tahun. Saya mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 langsung dengan beasiswa Bakrie Graduate Fellowship di Jurusan International Political Economy di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (NTU), Singapura dan lulus pada tahun 2013.
Setelah menyelesaikan S2 di usia 22 tahun, saya sempat merencanakan untuk langsung melanjutkan studi ke jenjang S3 melalui program beasiswa. Namun pada kenyataannya, life happens. Alih-alih langsung mendaftar beasiswa untuk S3, saya malah mendaftar menjadi Pengajar Muda dari Yayasan Indonesia Mengajar. Saya beruntung diberi kesempatan satu tahun mengabdi di SDN Torosubang, Halmahera Selatan.
Selama menjadi Pengajar Muda, semangat saya untuk melanjutkan studi ke jenjang S3 terus bergelora. Saya bahkan mulai mencoba menulis proposal penelitian ilmiah, tapi ternyata motivasi saya belum cukup kuat untuk menyelesaikannya. Di sisi lain, saya juga masih diliputi kebimbangan karena adanya keinginan untuk mencoba berkarir di jalur non-akademik dan belum ingin langsung menjadi dosen selepas saya selesai dari Indonesia Mengajar. Tahun 2015, saya memilih untuk membuka diri terhadap pengalaman baru. Saya pun mendapatkan kesempatan mengajar part-time di beberapa universitas swasta di Jakarta sekaligus bekerja sebagai tenaga ahli di berbagai lembaga pemerintah dan donor asing.

Ternyata dunia kerja terasa begitu menyenangkan, meski demikian keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang doktor masih tetap ada di benak saya. Bahkan di Tahun 2017, saya menghubungi salah seorang profesor dan bertemu langsung untuk berdiskusi terkait rencana studi doktoral. Kenyataannya teman-teman seangkatan saya sudah mulai S3 saat itu, bahkan ada yang sudah menyelesaikannya karena menempuh pendidikan doktoral selama tiga tahun di Inggris. Saya merasa agak ketinggalan dan terdorong untuk cepat mengejar. Namun, lagi-lagi saya menyadari bahwa motivasi saya ternyata belum begitu kuat untuk diwujudkan dengan usaha nyata.
Memasuki Tahun 2018, saya mulai serius berdiskusi dengan para mentor terkait keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. Salah satu mentor berpandangan sebaiknya menikah sebelum melanjutkan studi, karena perjalanan S3 akan sangat berat dan lonely jika ditempuh sendirian. Jujur pada waktu itu saya agak kesal, mengapa beliau malah menyarankan hal itu. Namun, dalam hati saya mengamini semoga saya bisa S3 di luar negeri setelah menikah dan punya anak. Akhirnya saya mulai mengalihkan fokus, untuk sementara saya menunda rencana studi dan memilih untuk menemukan pasangan hidup dan menikah.
Perjalanan hidup membawa saya ke tempat kerja lainnya, Sekretariat ASEAN. Di tempat ini, saya kembali menemukan semangat untuk melanjutkan studi lagi sembari menikmati peran profesional yang saya jalani. Semangat itu juga tumbuh semakin kuat setelah melihat atasan yang juga merupakan mentor saya, seseorang yang tekun dan brilian menyandang gelar S3. Selama lima tahun bekerja, saya menemukan inspirasi terkait topik yang akan saya teliti dalam S3 saya. Di sela-sela kesibukan menjadi seorang ibu baru, saya tetap meluangkan waktu untuk mengikuti berbagai workshop dan pelatihan sebagai persiapan pendaftaran universitas dan beasiswa. Saya juga mengulang kembali belajar IELTS setelah lebih dari 12 tahun sejak tes terakhir saya.
Awalnya saya berniat untuk melanjutkan studi S3 di jurusan Hubungan Internasional kembali agar linear dengan apa yang saya ambil sebelumnya. Saya menargetkan departemen HI di Australian National University (ANU) untuk tahun 2025. Qadarullah, di tahun 2024 ketika ingin mendaftar beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS) dan LPDP, saya malah diberikan kesempatan untuk menjadi mahasiswa S3 melalui beasiswa kampus ANU dengan sebagian pendanaan dari grant research supervisor saya. Informasi mengenai beasiswa kampus memang tidak semasif informasi yang disebarkan oleh lembaga pemberi beasiswa sekelas LPDP, AAS, Chevening ataupun Fulbright. Kesempatan berkuliah lagi dengan beasiswa kampus ternyata sangat terbuka lebar, khususnya bagi yang memiliki keinginan untuk S3 di jurusan yang spesifik. Saya mendapat informasi beasiswa ini dari seorang teman yang kebetulan sedang menempuh S3 di kampus yang sama. Selain itu, di website kampus juga tertera kesempatan untuk mendaftar beasiswa ini. Proses seleksi beasiswa kampus ini jauh lebih simple dibandingkan dengan LPDP maupun AAS.
Proses yang saya jalani pertama kali adalah mengirimkan email ke calon supervisor dengan melampirkan brief proposal sepanjang tiga halaman. Setelah itu, saya dan calon supervisor mengadakan pertemuan melalui Zoom untuk mengenal satu sama lain dan mengungkapkan berbagai ekspektasi terkait S3 dan penelitian yang akan dikerjakan. Karena beasiswa ini terkait dengan grant research supervisor saya menyarankan topiknya agar sesuai dengan tema besar penelitian yang sedang beliau kerjakan. Setelah saya melakukan revisi proposal, bismillah, saya kirimkan proposal tersebut ke supervisor dan beliau mengevaluasi proposal tersebut. Beberapa minggu kemudian, beliau mengundang saya untuk wawancara dengan panel untuk menentukan apakah saya layak mendapatkan beasiswa tersebut. Alhamdulillah, di bulan Maret 2024, saya diberikan penawaran untuk menjadi mahasiswa S3 dengan beasiswa dari supervisor saya.
Ternyata, walaupun sudah secure beasiswa, saya masih harus menyelesaikan administrasi pendaftaran secara resmi ke kampus ANU. Saya mendaftar ke kampus ANU dengan melampirkan proposal penelitian, personal statement, CV lengkap dengan daftar publikasi dan penelitian, serta tiga surat rekomendasi yang dikirimkan oleh para perekomendasi secara langsung dari e-mail mereka ke ANU.
Saya merasa beruntung, karena saya masih menjalin hubungan baik dengan pembimbing akademis saya sewaktu S2, kepala program studi tempat mengajar saya part-time dan direktur di tempat saya bekerja. Merekalah yang menjadi pemberi rekomendasi saya untuk melanjutkan sekolah ke ANU. Berkas pendaftaran pun saya kirimkan di bulan Juli 2024 dan di akhir September 2024, keluar LoA dari kampus. Namun, saat itu saya masih deg-degan, karena Letter of Offer beasiswanya masih belum keluar. Padahal supervisor saya berekspektasi bahwa saya akan memulai studi di bulan Februari 2025. Alhamdulillah, surat penerimaan beasiswa saya keluar di minggu kedua Desember 2024. Setelah itu, saya langsung mengurus berkas untuk pengajuan visa, melakukan medical check-up dan mencari akomodasi untuk keluarga di Canberra.
Pada 17 Februari 2025, saya resmi menyandang gelar sebagai mahasiswa S3 di departemen Hubungan Internasional, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, College of Asia and the Pacific, ANU. Sebuah perjalanan yang amat panjang, berlika-liku dan mengejutkan karena sangat tidak menyangka saya bisa sampai di titik ini, seperti apa yang saya impikan sebelumnya.
Menjalani peran sebagai mahasiswa S3 setelah 12 tahun gap year membuat saya kagok di awal. Saya masih belajar untuk menulis secara akademis (academic writing), menemukan persoalan yang layak untuk diteliti, membaca jurnal dan buku-buku serta melakukan deep thinking. Pengalaman profesional, cukup membantu saya memahami fenomena yang saya teliti. Di sisi lain kesempatan berjejaring juga mendukung saya dalam mengerjakan riset yang saya ambil. Awalnya saya berpikir terlalu lama memiliki gap year untuk lanjut kuliah tetapi pemikiran itu sirna saat saya bertemu teman satu angkatan berbeda jurusan yang kembali berkuliah setelah 22 tahun.
Pengalaman ini membuat saya belajar bahwa persistensi, konsistensi dan motivasi menjadi tiga kunci utama agar dapat meraih impian sekolah lagi setelah mengambil jeda yang cukup lama (dengan alasan apapun, termasuk menjadi ibu rumah tangga). Semuanya tentu perlu dimanifestasikan dengan usaha dan doa serta mengambil kesempatan yang ada tanpa ragu. Tentunya, ridho suami, orang tua serta anak-anak juga diperlukan dalam mengambil keputusan besar ini. Saya juga merasa sangat terbantu bergabung dengan berbagai komunitas seperti PhD Mama dan Lab Belajar Ibu tempat bertemu dengan teman-teman sefrekuensi yang ingin kuliah lagi walaupun sudah menikah dan punya anak. Berbagai informasi di support group dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka persiapan kuliah lagi serta artikel-artikel di blog sangat bermanfaat bagi saya untuk tetap termotivasi walaupun sudah lama tidak menjadi mahasiswa. Terima kasih PhD Mama 🙂
Artikel ini ditulis oleh Avina Nadhila Widarsa dan diedit oleh Ika Arira untuk PhD Mama Indonesia. Avina dapat dihubungi melalui instagram @avinaincbr
