Dilema Karier Dosen: Setelah Doktor, Lalu Apa?

Masih dalam memeringati Hari Pendidikan Nasional 2025, mari sejenak kita menengok kehidupan sebagian pendidik di perguruan tinggi. Profesi yang menjadi garda depan dalam mendidik mahasiswa. Mereka memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi sumber daya manusia Indonesia. Mereka yang dipanggil dosen.

Berbagai tuntutan mereka hadapi; dari mulai mengisi BKD (Beban Kinerja Dosen)—yang didalamnya terdiri dari aspek pendidikan, pengabdian kepada masyarakat dan penelitian yang semuanya harus dikerjakan dalam satu semester— hingga “harapan” untuk terus melanjutkan pendidikan hingga doktor. 

Lalu, setelah jadi doktor, apakah seorang dosen pasti memiliki karier yang cemerlang dan gaji yang tinggi? Ternyata, tidak. Menuntaskan pendidikan doktor (S3) sesungguhnya merupakan satu bagian dari perjalanan yang panjang. Kondisi ini tidak jarang membuat senyum getir para dosen. “Sudah sekolahnya susah, cari beasiswanya jumpalitan, setelah lulus, gajinya tidak naik signifikan,” kelakar seorang dosen. 

Kondisi inilah yang membuat beberapa pindah haluan. Kalaupun tetap jadi dosen, memilih menjadi dosen tidak tetap dan mengajar di luar waktu kerja. Ada yang menjadi konsultan, fokus menjadi peneliti di lembaga pemerintahan atau non pemerintah (NGO), atau membangun usaha sendiri. 

Sebenarnya, saat seseorang menjalani pendidikan hingga jenjang doktor, ia tidak hanya mendapatkan ilmu dan gelar, tetapi kemampuan berpikir kritis, ketahanan dan melihat kedalaman sebuah persoalan. Semua ini menjadi bekal istimewa. Sayangnya, tidak sedikit para doktor yang masih setia di jalur akademisi merasa jalan di tempat. Lalu bagaimana seorang dosen sebaiknya menyiapkan diri, sebelum dan saat menempuh pendidikan S3?

A person standing in front of a projector screen

AI-generated content may be incorrect.
 Penulis saat menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. (Foto: Ravdinal)

Untuk Apa Saya Kuliah S3?

Bagi seorang dosen, melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang doktor, umumnya memang karena tuntutan karier. Apalagi bagi yang ingin bercita-cita menjadi guru besar. Meskipun tentu saja, selain gelar dan jabatan, banyak hal yang dapat didapat seseorang dari kuliah S3; ilmu, kemampuan meneliti, melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang, dan ketahanan dalam menyelesaikan masalah. 

Perjalanan mencapai gelar doktor (bagi yang benar-benar kuliah) adalah perjalanan panjang. Di dunia lari, ia seperti maraton, yang harus punya persiapan, tekad yang kuat, dan strategi untuk mampu mencapai garis finish. Untuk itu, sebelum memutuskan melanjutkan studi, pertimbangkan beberapa hal:

  • Rencana sesudah lulus. Petakan perjalanan karier yang akan dilakukan setelah lulus. 
  • Selain dosen, profesi apalagi yang dapat ditekuni?
  • Jika harus mencari beasiswa, apakah di dalam atau luar negeri. Bagaimana pembagian waktu untuk menyiapkan dokumen beasiswa, dari mana biayanya?
  • Jika harus menggunakan biaya sendiri apakah masih ada sisa tabungan dan cukup hingga lulus. Jika tuntutan dari universitas tempat bekerja, bagaimana kontrak kerjanya. Sejauh mana universitas mau mendukung dari sisi finansial?
  • Jika saat kuliah, hanya mengandalkan uang bulanan yang didapat dari penyelenggara beasiswa apakah akan memengaruhi keuangan keluarga. Sebaliknya, jika kuliah dan bekerja sama-sama dilakukan, bagaimana pembagian waktunya?
  • Dari sisi waktu, apakah keluarga siap dengan perubahan tersebut?

Saat Masih Kuliah S3

Amalia Sustikarini, yang meraih gelar PhD dari University of Canterbury New Zealand, menyarankan pentingnya membangun jaringan sejak masih kuliah. “Apalagi kalau kuliah di luar negeri, usahakan bergaul dengan mahasiswa dari negara lain dan juga akademisi di kampus tersebut.” Ia juga menyarankan untuk memperdalam kemampuan menulis sehingga mampu mengomunikasikan hasil penelitian dengan baik. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Nuri W.  Veronika, yang saat ini menjadi dosen di Faculty of Arts, Monash University, Australia. Menurut Nuri, memperkuat daya saing dengan membangun jaringan dan kolaborasi dengan para akademisi di luar negeri perlu dilakukan. “Perkuat portofolio publikasi di platform yang memiliki reputasi tinggi dan bangun public engagement misalnya dengan menulis di media.”

Bagi dosen, membangun jaringan sebetulnya perlu dilakukan saat memulai karier. Bahkan bukan tidak mungkin, dengan jaringan tersebut, bisa mendapat banyak informasi mengenai peluang mendapat beasiswa S3. Pun publikasi yang umumnya menjadi salah satu pertimbangan bagi calon supervisor atau pembimbing untuk melihat kemampuan meneliti dan menulis seseorang. 

Membangun Karier di Luar Negeri

Melihat kondisi yang terjadi saat ini, memilih berkarya di luar negeri bisa jadi menjadi pilihan menarik. Tentu setelah mempelajari sistem kerja di negara tujuan. 

Amalia, yang sebelumnya berkarier sebagai dosen di Indonesia dan saat ini bekerja sebagai Research and Evaluation Associate, Equity and Diversity di Creative Australia, mengatakan bahwa tidak masalah jika ada perubahan di tengah perjalanan menjelang lulus. Namun, pastikan, pilihan tersebut tidak melanggar aturan, terlebih bagi mereka yang mendapatkan beasiswa. Sebelum memutuskan mengambil beasiswa, perlu memerhatikan tujuan dan komitmen (termasuk kontrak belajar). Apabila tidak setuju terhadap persyaratan untuk pulang ke Indonesia, bangun gerakan atau advokasi kepada pembuat kebijakan untuk mengubah aturan, tapi bukan dengan tidak mematuhi kontrak. “Saya berprinsip bahwa kita harus menjadi contoh dari kepatuhan hukum,” ujar Amalia. 

Amalia Sustikarini (foto: dok. pribadi)

Jika Amalia sebelumnya berkarier sebagai dosen, lain halnya dengan Nuri. Sebelum melanjutkan S3, Nuri bekerja di sebuah kementerian. Saat itu, ia merasa jalan di tempat; tidak punya suara, berada di level birokrasi yang rendah dan termajinalkan dengan norma gender yang masih mendewakan kepemimpinan laki-laki dan maskulinitas. Ia pun akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikan dan belajar gender dari perspektif keamanan internasional. Selepas lulus, Nuri kemudian memilih untuk berkarier di Australia sebagai dosen. 

“Saya merasa mampu dan kompeten, mempunyai daya saing dan secara pribadi ingin menerapkan pedagogi yang memberdayakan dan telah saya peroleh dari kombinasi pengalaman sebagai praktisi dan pengajar selama pendidikan S3.”

Nuri melihat, wajar jika ada dosen yang memilih berkarier di luar negeri, yang mampu memberikan insentif yang seimbang dengan keahlian. “Saya sangat mengerti rasa takut bahwa kelelahan mereka menuntut ilmu hingga S3 apalagi di luar negeri, tidak akan dihargai di negeri sendiri. Akan ada gap yang sangat besar antara yg sudah mereka pelajari saat S3 di luar negeri dengan kenyataan ketika kembali ke Indonesia yg dihadapkan dengan kondisi yang penuh keterbatasan.” 

Nuri saat bekerja (foto: dok. pribadi)

Dukungan Universitas dan Rekan Sesama Dosen 

Dengan banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi seorang dosen, tidak heran jika para akademisi, khususnya para akademisi perempuan merasa lelah. Evi Eliyanah, dosen Universitas Negeri Malang, saat menjadi pemateri di acara inagurasi relawan PhDMama Indonesia menyampaikan pendapatnya tentang dukungan yang perlu diberikan bagi akademisi perempuan di tengah neoliberalisme perguruan tinggi. 

Beberapa hal yang perlu dilakukan:

  • Dukungan dari rekan senior untuk memberikan pendampingan atau mentoring terhadap penulisan jurnal dan kegiatan kedosenan lain
  • Universitas memberikan akses bagi adanya pengembangan jaringan, publikasi sehingga tidak hanya menuntut dosen untuk menghasilkan publikasi namun membuka ruang bagaimana cara mempublikasikannya, termasuk di dalamnya pendanaan
  • Untuk menjaga kesehatan mental, perlu diatur manajemen waktu yang memungkinkan akademisi perempuan menyeimbangkan waktunya untuk diri, keluarga, dan pekerjaannya. 

Teriring doa, semoga para dosen, khususnya dosen perempuan, diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Apresiasi setinggi-tingginya untuk mereka yang terus berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa. 

Ditulis oleh Aprilina Prastari dan diedit oleh Shiva Devy untuk PhD Mama Indonesia. 

Amalia dan Nuri dapat dikontak melalui sosial media. Amalia di instagram @amaliapodcast atau linkedin sedangkan Nuri di instagram @nuri.cahyono.

Leave a comment