
Mengawali awal tahun 2025, PhD Mama Indonesia berkesempatan mendengarkan cerita perjalanan seorang PhD Mama dari Timur Tengah, tepatnya dari Uni Emirat Arab (UEA). Namanya Lativa Lisya Magfira, atau yang akrab disapa Lativa.Saat ini Ia tercatat sebagai dosen Sekolah Vokasi Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Lativa merupakan alumni dari University of Debrecen, Hungaria di bidang Food Safety dan Universitas Diponegoro, Semarang di bidang Perikanan. Kombinasi keahlian ini ternyata sangat cocok dengan kebutuhan posisi yang saat itu dibutuhkan di United Arab Emirates University, Al Ain yang berjarak sekitar 2 jam dari Abu Dhabi.
Perjalanannya mendapatkan posisi S3 dengan beasiswa dari kampus UEA ternyata cukup cepat. “Saya mencoba mencari program studi terkait aqua culture di bulan Januari 2024 melalui portal universitas yang selanjutnya dihubungkan ke seorang PhD coordinator”, cerita Lativa mengenang perjalanannya. “Kurang lebih sekitar satu bulan, saya berkomunikasi intensif dengan calon supervisor dan mendaftarkan aplikasi melalui portal universitas, sedangkan beasiswanya via email. Untuk beasiswa, ada 2 type, full scholarship atau basic fellowship. Untuk jenis basic fellowship ini merit based, yang seleksinya akan mempertimbangkan beberapa kriteria, seperti rangking universitas S1 & S2, jumlah publikasi, pengalaman riset, skor IELTS dan GRE juga.”, ungkapnya secara detail. Setelah proses tersebut sekitar bulan April, ia mendapatkan informasi lolos beasiswa dan dapat memulai program S3 di musim gugur (fall semester) 2024, yang artinya hanya tinggal hitungan bulan untuk berangkat. Diantara rasa bahagia karena dapat melanjutkan studi S3 dengan beasiswa, ada keputusan besar yang harus diambil. Suami yang sudah cukup settle dengan pekerjaan saat ini harus resign karena akan ikut menemaninya studi bersama sang buah hati berusia 2.5 tahun.
Semua sudah siap, Lativa dan keluarga tiba di Al Ain di akhir bulan Agustus, menjelang dimulainya perkuliahan tahun ajaran baru. Masa studi S3 yang akan dijalani Lativa hampir sama dengan sistem pendidikan di Amerika, yakni 4 tahun masa studi yang terdiri dari coursework dan riset. “Suasana di kampus sangat internasional dengan persaingan yang sepertinya cukup ketat”, ujar Lativa. Selain itu, tambahnya, Coursework yang dijalani selama 2 semester ke depan juga cukup menyita waktu dan membuat overwhelmed. Hampir tidak ada waktu untuk sekedar mengulang materi yang diberikan dan sudah ditumpuk dengan tugas lanjutan untuk perkuliahan lainnya. Tidak jarang dosen yang perfeksionis meminta revisi dari handout yang harus dibagikan saat presentasi. Kondisi awal di negara baru dan adaptasi yang singkat sesungguhnya membuat kesehatan mentalnya agak goyah. Selain komentar negatif terkait sang pembimbing yang sering ia dengar dari lingkungan sekitar kampus, pun dengan hasil ujian akhirnya yang belum memenuhi persyaratan. Kedua hal ini menjadi poin kegalauannya beberapa bulan terakhir. “Maklum, mahasiswa S3 dengan beasiswa dituntut untuk mempertahankan IPK diatas 3.00.” ungkapnya. Masa 3-4 bulan diawal studi S3, biasa disebut dengan masa adaptasi yang menyengangkan atau dikenal dengan honeymoon phase. Fase dimana seseorang berada di tempat baru yang mungkin sudah diidamkannya sejak lama, kemudian mendapatkan pengalaman baru, dunia baru dan lain sebagainya yang semuanya tampak indah. Namun sayangnya, hal tersebut tidak berlaku untuk Lativa. Baginya, pengalaman 4 bulan awal studi S3 ini cukup berat dan penuh tantangan. “Sungguh perjalanan S3 sebenarnya adalah perjalanan spiritual yang menguji keimanan seseorang dan lebih mendekatkan pada Yang Kuasa”, ujarnya merangkum pengalamannya.
Namun, diantara beratnya perkuliahan S3 di UAE, Lativa bersyukur karena dukungan keluarga untuk studinya. “Lingkungan tempat tinggal sebenarnya cukup nyaman, banyak makanan halal dan mudah ditemukan, serta lingkungan yang Islami. Suami juga sangat mendukung dengan berbagi tugas pengasuhan, mengingat mahalnya biaya daycare, dan si kecil juga sebentar lagi memasuki usia sekolah, sehingga kami memutuskan untuk menunggu sebentar hingga masa sekolah tiba.”, tambahnya. Suami juga membantu ekonomi dengan bekerja part-time yang pilihannya cukup beragam sehingga dapat memenuhi gap dana jika hanya mengandalkan dari beasiswa. Mungkin itu yang membuat saya bertahan dan yakin mampu menjalani semuanya”, cerita kak Lativa tentang etape pertama perjalanan S3-nya.
Lativa lalu menutup perbincangan kami dengan berpesan bahwa sebenarnya kesempatan studi lanjut di UEA masih sangat terbuka lebar dengan fasilitas riset dan dukungan publikasi yang berkelas. “Beasiswa disini cukup besar, khususnya dibidang engineering dan IT. Bahkan jika mau berkarier sebagai akademisi disini, peluangnya sangat besar.”, ungkap Lativa. Selain itu, pendanaan studi/riset melalui beasiswa yang berasal dari dana abadi pemerintah juga masih tersedia luas, sehingga bisa menjadi daya tarik dan target tujuan studi bagi PhD Mama yang ingin melanjutkan studi.
Artikel ini ditulis oleh Inna Ar di edit dan direview oleh Aini Khadijah untuk PhDMamaIndonesia. Ingin berkomunikasi lebih lanjut dengan Lativa, bisa hubungi melalui akun Instagram (at)ltivalisya.
