Phd Mama Dyah Adi Sriwahyuni, Cerita Birokrat Studi PhD diawal Pandemik Yang Berhasil Lulus Sidang Viva Hampir No-Correction

Halo semua selamat tahun baru 2025! Tahun baru cerita baru, kali ini ada Cerita PhD Mama yaitu seorang birokrat, Dyah Adi Sriwahyuni yang memiliki semangat belajar tinggi dan lulus sidang viva PhD hampir no-correction.

Tentu perjalanannya untuk studi S3 hingga sidang viva tersebut tidaklah mudah. Dimulai dari mencari pembimbing, mendaftar beasiswa – gagal lalu coba lagi, hingga pandemik covid-19. Semua lengkap dialami oleh Dyah, sapaan akrabnya itu. Bahkan untuk bisa sidang viva dengan status hampir no-correction ini butuh kebesaran hati untuk nurut apa kata supervisor (SPV) yang menyarankan Dyah mundur 6 bulan untuk fokus menulis PhD Thesis. “Yaa, saya nurut saja dengan supervisor (SPV) saya. Beliau bilang harus mundur 6 bulan untuk writing up yasudah saya lakukan saja.”, ujarnya mengawali pembicaraan. Tampaknya hal itu menjadi salah satu faktor confidence Dyah saat menjalani sidang kelulusan yang dilakukan secara daring tersebut. Memang, hubungan mahasiswa PhD dan SPV itu ibarat sepasang sepatu, artinya harus pas dan nyaman dipakai untuk berjalan. Jika ingin ‘langgeng dan lancar’ maka komunikasi dan kepercayaan adalah kuncinya. Hal itu diterapkan dengan baik oleh Dyah, dimana Ia sangat yakin bahwa SPV adalah salah seorang expert di bidang yang sedang digelutinya, maka segala saran dan masukan selalu dipertimbangkan dan dijalankan dengan sebaik – baiknya.

Dyah yang merupakan alumni S2 dari the University of Canberra ini juga menuturkan bahwa perjalanan studinya kali ini sungguh penuh dengan keberkahan. Meskipun harus mengalami peristiwa lockdown di dua bulan awal kedatangannya, sedikitpun rasa kecewa maupun sedih tidak pernah ada dibenaknya. “Karena disini (London) pada sekolah semua, mulai dari suami (yang kebetulan sedang lanjut PhD juga), si sulung (level SMP), anak kedua (level SD kelas 5) dan si bungsu (level SD kelas 4), sehingga rasanya tidak ada alasan untuk sedih dan bermalas – malasan.”, ungkapnya. Keluarga itu, tambahnya, adalah support system paling utama baginya untuk menuntaskan pendidikan doktoralnya di Queen Mary University of London.

Cerita Kehidupan Sehari – Hari

Selain melakukan aktivitas kuliah, ternyata Dyah juga aktif mengikuti kegiatan lain, seperti berkebun dengan penduduk local sekitar tempat tinggalnya. Kegiatan ini sangat didukung oleh pemerintah setempat melalui penyediaan lahan untuk menanam aneka sayuran dan buah – buahan. Kegiatan biasanya dilakukan hanya sebulan sekali dan diisi dengan memanen hasil apa yang ditanam. “Seru sekali. Selain karena saya suka gardening, jadi saya ikut aja komunitas gardening di daerah sini dengan warga local sini. Yaa Bahasa gaulnya healing biar nggak jenuh.”, ujar alumni S1 FEB Universitas Indonesia ini. Melalui kegiatan gardening tersebutlah Dyah bisa lebih mengenal budaya asli orang Inggris, yang tentunya sangat berbeda dengan budaya di Canberra – Australia. “Mungkin karena sama – sama kota besar (Jakarta & London) jadi saya tidak terlalu kesulitan untuk beradaptasi dibanding ketika studi dan tinggal di Canberra.”, tambahnya.

Ia juga menyarankan bahwasanya seorang ibu mahasiswa PhD harus mau bersosialisasi dengan aktif mengikuti kegiatan lain diluar kegiatan akademis. Karena kuliah S3 itu berbeda dengan S1 dan S2, dimana kita dianggap sebagai seorang mature student. Menurut Dyah, panjangnya durasi dan tingginya level ketidakpastian dalam studi PhD membuat area hidup yang lain juga perlu dipikirkan dan dijalani dengan baik, termasuk dalam hal bersosialisasi.

Selain berkebun, Dyah juga aktif di komunitas support group yang diadakan oleh pihak kampusnya. Komunitas tertutup ini berisi kegiatan untuk para postgraduate student yang dibuat dengan tujuan saling support satu sama lain. Biasanya mahasiswa S3 itu rawan kesepian karena aktivitas meneliti, menulis dan publikasi yang cukup panjang, tidak sedikit mahasiswa S3 itu mengalami burn out. “Dari kegiatan di support group ini saya jadi kenal mahasiswa internasional lain lintas jurusan. Mendengarkan kisah mereka ketika sharing session membuat saya tersadar bahwa kita semua punya masalah sendiri – sendiri.”, ungkapnya. Alumni STAN ini juga menambahkan, terkadang kita terlalu berlebihan saat ditimpa masalah terkait studi, sudah berasa mendapat ujian terberat dalam hidup. Intinya jangan membandingkan kehidupan S3 dengan rekan sejawat lainnya. Mereka berada kondisinya masing – masing, tugas kita hanya saling mendukung tanpa menghakimi.

Tidak sampai disitu saja, wanita kelahiran Bojonegoro ini, nampaknya tidak ingin menyia – nyiakan kesempatan studi di UK. Ia dan suaminya, Gatot Subroto, telah menjadi bagian dari pendirian Komunitas Doctrine UK (Doctoral Epistemic of Indonesian in the UK). Suaminya yang kala itu menjabat sebagai ketua PPI UK (Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom), merasakan bahwa perlu membuat sebuah ‘wadah’ khusus untuk memfasilitasi kebutuhan mahasiswa S3 yang berkuliah di UK. “Mahasiswa S3 itu kan unik ya, kebanyakan mereka datang studi dengan membawa keluarganya. Tentu mereka sangat berbeda dengan mahasiswa S1-S2 yang rata – rata masih muda dan single. Nature penelitian S3 yang unik juga membuat mahasiswa S3 cenderung jalan-jalan sendiri dan sulit bersosialisasi, maka kami buat komunitas ini untuk berjejaring dan saling mendukung satu sama lain.

Dyah juga menuturkan bahwa dirinya cukup beruntung diberi rezeki oleh Allah untuk melanjutkan studi S3 dikala ketiga anaknya sudah memasuki usia sekolah. Sehingga, ia bisa memberikan pengalaman langsung kepada anak – anaknya terkait kemandirian kala hidup di luar negeri. “Berkahnya studi kali ini adalah, anak – anak jadi faham bahwa hidup di luar negeri itu harus mandiri. Tidak ada asisten rumah tangga (ART) seperti saat tinggal di Jakarta.”, ungkapnya. Dengan begitu, tambahnya, mereka lebih paham akan tanggung jawabnya.

Pun Dyah juga memberikan tips berdasarkan lesson learned yang ia pelajari selama studi S3. Yakni perihal penulisan PhD Thesis, khususnya dengan metologi kualitatif. Dyah menjelaskan kepada calon PhD student, untuk menyelaraskan masing – masing bab untuk Thesisnya di tahun ketiga. Hal ini, tambahnya, akan mempermudah dan menghemat waktu saat ada hal – hal yang perlu diperbaiki. Selain harus banyak membaca, ia juga menuturkan bahwa kendali riset tetap ada di student, jadi meskipun harus nurut tapi tidak boleh rely on sepenuhnya pada SPV.

Dyah pun menutup obrolan dengan memberikan closing statement penggugah semangat, “ini bukan hanya perjalanan PhD tetapi perjalanan hidup yang bermakna. Gelar PhD telah memengaruhi cara saya memandang dunia dan mengubah paradigma saya. Benar-benar pengalaman luar biasa yang membentuk saya menjadi orang yang mengejar tujuan hidup yang bermakna.”

Artikel ini ditulis oleh Aini Khadijah, di review dan diedit oleh Laksita Gama Rukmana untuk PhD Mama Indonesia. Ingin berkomunikasi lebih lanjut dengan mbak Dyah, bisa hubungi melalui akun Linkedin – Dyah Sriwahyuni.

Leave a comment