Aisyah Zakiah: Tantangan Studi S3 Bersama Suami dan Tips Menyiapkan Mental Anak di Tempat Baru

Bagi Aisyah Zakiah, melanjutkan studi ke jenjang S3 sudah menjadi dambaannya sejak lulus program master’s degree di tahun 2016. Selain untuk meningkatkan ilmu dan kapasitas diri, studi doktoral juga merupakan salah satu kewajibannya sebagai dosen prodi Arsitektur di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Awalnya Aisyah menjadikan The University of Melbourne, Australia, sebagai opsi pertama untuk studi S3. Mengingat ada banyak expert dalam bidang risetnya di negeri kanguru tersebut. Selain itu, kota-kota di Australia juga dinilainya nyaman untuk ditinggali bersama keluarga. Meskipun ia menempuh pendidikan S2 di The University of Melbourne, namun, proses mendapatkan beasiswa S3 ternyata tidak semudah yang diharapkan. Ia pun harus beralih tujuan ke United Kingdom (UK) demi bersatu dengan suaminya yang sedang menempuh jenjang doktoral di negara tersebut. Aisyah membutuhkan waktu tiga tahun hingga akhirnya berhasil mendapatkan dukungan pendanaan dari LPDP untuk studi S3 di The University of Sheffield, UK.

Kepada Laras Larasati, kontributor PhD Mama Indonesia, Aisyah berbagi kisah bagaimana ia tidak putus semangat dalam mencari beasiswa untuk studi doktoralnya. Ia juga menceritakan pengalamannya dalam menyiapkan mental sang putri untuk menemaninya di UK serta caranya membagi waktu antara riset, pekerjaan dan keluarga. Mari simak kisah inspiratifnya berikut ini.

Halo, Mbak Aisyah. Salam 24 jam! Boleh cerita sedikit perjalanan Mbak Aisyah dalam mendapatkan beasiswa S3? 

Saya memulai proses mencari pendanaan untuk studi S3 di tahun 2019 dan baru mendapatkannya di tahun 2022. Jadi sekitar 3 tahun prosesnya. Australia sempat menjadi opsi pertama saya sebagai negara tujuan untuk melanjutkan studi S3. Dalam prosesnya saya sudah sempat medapatkan LoA (Letter of Acceptance) dari dua kampus di Australia yaitu UNSW dan RMIT University. Namun, kondisi pandemi di sekitar tahun 2020 – 2021 membuat peluang mendapatkan beasiswa lebih sulit. Australia juga sempat menutup border secara total bagi mahasiswa internasional untuk masuk saat itu.

Di akhir tahun 2021, suami mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S3 di University College London, UK dan keluarga kami harus tinggal terpisah selama 1 tahun. Ini menjadi salah satu alasan besar saya untuk beralih mencari peluang studi lanjut di UK agar keluarga kami bisa berkumpul kembali. Alhamdulillah di tahun 2022, saya mendapatkan LoA dan juga beasiswa untuk studi S3 di The University of Sheffield, UK.

Selama tiga tahun dalam proses pencarian beasiswa S3, bagaimana cara Mbak Aisyah agar bisa terus semangat?

Melanjutkan studi S3 merupakan salah satu kewajiban dalam profesi dosen yang sudah saya pilih sehingga saya mengupayakan semaksimal mungkin agar hal ini bisa tercapai. Saya percaya jika Allah sudah menakdirkan kita untuk bisa mendapatkan kesempatan S3, suatu hari kita pasti akan sampai di titik itu. Kita hanya perlu berusaha mencari dan mencoba berbagai jalan untuk sampai ke sana. 

Proses persiapan dan pencarian beasiswa untuk studi S3 bagi saya cukup menantang, karena harus bekerja, harus merawat anak dan sedang tinggal berjauhan dengan suami saat itu. Saya merasa hanya memiliki waktu sedikit untuk mempersiapkan IELTS, proposal penelitian dan aplikasi beasiswa. Namun dengan segala keterbatasan ini saya merasa menjadi lebih organised. Saya persiapkan semuanya pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.

Walaupun perjalanan saya cukup panjang, saya bersyukur karena saya diberikan kesempatan studi lanjut di waktu yang tepat. Saat anak saya sudah cukup besar, sehingga lebih kondusif untuk saya bawa menemani studi di UK.

Mbak Aisyah menempuh studi S2 di Australia dan saat itu masih lajang. Kini Mbak Aisyah studi doctoral di negara berbeda, di UK, dengan kondisi bersama suami yang sama-sama sedang S3 dan juga putri yang masih kecil. Apakah Mbak Aisyah sempat mengalami culture shock dalam studi dan kehidupan sehari-hari di Sheffield?

Culture shock pasti ada. Berbeda dengan pengalaman menjalani perkuliahan master yang full coursework dimana saya hanya perlu datang ke kelas dan mengerjakan tugas, saat menjalani studi S3 di UK saya dituntut bekerja secara mandiri, tidak ada kelas sama sekali, dan hanya ada beberapa training wajib di tahun pertama. Oleh karena itu, saya perlu menyusun target sendiri serta perlu aktif berkomunikasi dengan supervisor agar studi saya bisa terus berprogres.

Sebelum datang ke UK saya menganggap keseharian hidup di UK akan sama dengan di Australia, namun ternyata sangat berbeda. Banyak hal di UK dimana komunikasi lebih sering dilakukan melalui telepon dan surat pos dibandingkan dengan email. Misalkan untuk membuat appointment dengan GP, dentist, mengontak agen akomodasi, atau menyampaikan izin ke sekolah. Informasi dari health center dan surat terkait pajak juga sering hanya dikirim lewat pos tanpa ada email. Padahal di Indonesia kita sudah hampir tidak pernah menerima surat penting melalui pos.

Saya juga mengalami culture shock dalam hal bahasa. Saya yang terbiasa dengan Australian English perlu beradaptasi karena bahasa Inggris di UK memiliki kosakata keseharian yang cukup berbeda. Banyak juga warga lokal yang memiliki aksen sehingga lebih sulit bagi saya memahami percakapan khusunya untuk komunikasi via telepon. Namun, Alhamdulillah dengan berjalannya waktu saat ini sudah lebih terbiasa.

Bagaimana keseharian Mbak Aisyah dan cara membagi waktu antara riset, pekerjaan, dan untuk keluarga?

Rutinitas saya di pagi hari yaitu mengantar anak ke sekolah. Sekolah anak masuk pukul 8.50. Pintu kelas akan dibuka tepat sesuai jadwal masuknya, kemudian pintu ditutup 5-10 menit kemudian. Agak berbeda dengan sekolah di Indonesia, di UK kita tidak bisa mengantar anak ke sekolah lebih awal dari jadwal masuk. Setelah mengantar anak ke sekolah, saya langsung menuju ke office.

Waktu kerja saya yang utama disesuaikan dengan waktu anak di sekolah yaitu dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Dalam waktu ini saya manfaatkan untuk mengerjakan riset S3 dan mengikuti workshop yang diperlukan untuk belajar skill baru. Selain itu, saya juga bekerja sebagai graduate teaching assistant (GTA). Menurut saya mengambil kesempatan bekerja sebagai GTA penting untuk mahasiswa S3, selain untuk menambah pengalaman mengajar juga untuk menghadirkan kegiatan baru di luar riset agar tidak jenuh.

Jika suami sedang tidak di luar kota maka suami bertugas menjemput anak dari sekolah sehingga saya punya waktu ekstra untuk lanjut bekerja. Kami berdua mengkomunikasikan jadwal masing-masing, dan sharing google calendar untuk berkoordinasi membagi tugas terkait anak.

Setelah pulang ke rumah saya lebih fokus untuk menyelesaikan urusan rumah dan menemani anak bermain. Hidup di UK menuntut kami untuk lebih mandiri dalam menyelesaikan urusan rumah. Tidak seperti saat kami tinggal di Yogya dimana ada banyak penjual makanan siap saji, laundry kiloan atau asisten yang bisa dipanggil untuk bersih – bersih rumah. Di UK fasilitas semacam itu tidak ada, sehingga kami perlu berbagi tugas berdua untuk urusan rumah setiap hari.

Libur sekolah menjadi tantangan paling besar bagi kami berdua yang sedang studi S3 bersama. Karena harus bergantian menjaga anak padahal ada pekerjaan riset yang harus tetap berjalan. Kami menyusun jadwal pembagian waktu sesuai dengan agenda masing masing. Agenda mana yang sudah fix dan mana yang masih fleksibel. Kemudian bergantian menemani anak selama liburan. Untuk liburan panjang seperti Christmas atau summer break sebagian besar staff akademik di UK juga mengambil cuti, sehingga tidak banyak kegiatan di kampus. Kami biasanya memanfaatkan waktu ini untuk liburan keluarga.

Adakah challenge yang dihadapi ketika mencari daycare/sekolah? Bagaimana cara Mbak Aisyah menyiapkan mental anak di tempat baru?

Awal datang ke UK, usia anak kami belum cukup untuk masuk ke primary school (saat itu 4 tahun) sehingga kami perlu mencari nursery. Kami mengontak beberapa nursery sebelum datang ke UK dan cukup lama kami hanya bisa masuk waiting list. Setelah masuk waiting list kita perlu aktif untuk melakukan follow up kepada pihak nursery untuk mendapatkan kepastian tempat. Beberapa hal yang menurut saya cukup berbeda dari daycare di Indonesia, nursery di UK tidak membuat jadwal khusus tidur siang untuk anak dan tidak ada kegiatan mandi sore.

Mempersiapkan anak masuk ke nursery atau sekolah di UK secara umum mirip dengan di Indonesia. Hanya kita perlu mempelajari kebiasaan guru dan caretaker di sini. Kemudian kita mengkomunikasikannya dengan anak di rumah. Ada beberapa hal yang saya persiapan dengan anak sebelum masuk ke nursery.

Pertama, memberikan gambaran seperti apa nursery itu. Siapa saja yang akan ditemui, kegiatan apa saja yang akan dilakukan. Di UK kita bisa visit nursery sebelum hari pertama masuk sehingga anak punya gambaran apa yang ada di dalam nursery. Saat visit kita bisa highlight permainan yang bisa membuat anak tertarik dengan nursery barunya. Misal di nursery anak saya ada sepeda dan playground. Saya juga bermain roleplay dengan anak proses bagaimana kita akan mengantar ke nursery, say goodbye, dia akan masuk ke kelas, sampai kemudian kita akan menjemputnya.

Kedua, persiapan komunikasi dan bahasa, karena saat pertama datang ke UK anak saya belum pernah diajarkan bahasa Inggris sama sekali maka kami mencoba mengenalkan beberapa kata bahasa Inggris. Anak-anak cukup cepat belajar bahasa baru dan sangat cepat berbaur bermain dengan teman sebayanya walapun anak saya tergolong tipe pemalu. Bahasa yang kami ajarkan yang basic saja terutama untuk meminta bantuan, seperti mau ke toilet (’I need a wee’), mau minum, atau melapor ke caretaker ketika ada yang sakit.

Ketiga, persiapan kemandirian. Anak dilatih untuk mandiri ke toilet, mencuci tangan dan makan sendiri. Toilet di nursery berbeda dengan di rumah kami yang menyediakan air, sehingga anak kami latih membersihkan dengan tisu. Di nursery jika anak tidak makan juga sering dianggap tidak lapar jadi tidak akan dipaksa makan atau disuapi, sehingga kemampuan bisa makan sendiri penting.

Terakhir, apa pesan Mbak Aisyah untuk para perempuan yang ingin melanjutkan studi bersama keluarga?

Untuk teman-teman yang akan melanjutkan studi, diskusikan bersama keluarga kesiapan mental dan juga finansial. Transisi yang baik akan membantu kita juga untuk fokus terhadap studi.

Komunikasikan segala keputusan yang diambil seawal mungkin baik dengan pasangan ataupun anak. Pindah dari kehidupan lama yang sudah settle kemudian memulai hidup di tempat baru tidaklah mudah. Semua perlu waktu beradaptasi, banyak yang akan berkorban demi kita untuk bisa studi S3 ini.

Saya dan suami studi bersama di UK namun di kota yang berbeda, jadi kami mendiskusikan di kota mana kami akan tinggal bersama dan bagaimana mengatur kegiatan studi kami berdua. Saya juga ngobrol sangat banyak dengan anak dan mencoba membangun afirmasi yang positif kepada anak bahwa akan ada banyak pengalaman baru di tempat yang baru.

Membawa keluarga saat studi juga membutuhkan dukungan finansial. Kalkulasikan biaya keberangkatan. Jika di UK yang paling mahal adalah biaya asuransi kesehatan karena harus dibayarkan secara keseluruhan di awal untuk 4 tahun atau sesuai durasi visa. Selain itu akomodasi keluarga juga lebih mahal, semakin banyak jumlah anak maka sesuai peraturan harus menyewa rumah dengan lebih banyak kamar.

Mencari info terkait nursery dan sekolah. Bagi ibu yang menjalani studi, mendapatkan nursery dan sekolah menjadi hal penting agar kita bisa memiliki waktu untuk bekerja. Di UK sekolah gratis dari jam 9 – 15 mulai dari level primary di mana umur anak minimal 4 tahun per 31 Oktober di tahun tersebut. Untuk usia 3-4 tahun mendapatkan gratis 15 jam free early learning (FEL) di nursery. Jika kita butuh menambah sesi di luar 15 jam tersebut biayanya berkisar 25-35 pounds per sesi half day.

Jika semua ini disiapkan dengan baik insyaAllah sangat mungkin untuk menjalani studi dengan membawa keluarga.

artikel ini merupakan hasil wawancara dan ditulis oleh Laras Larasati dengan Aisyah Zakiah, diedit oleh Aini Khadijah, di publish oleh Laksita Gama Rukmana untuk PhD Mama Indonesia. 

Leave a comment