Halo, aku Alya Ghina Aqila Arham, seorang apoteker. Aku menyelesaikan studi S2 di University College London, program Precision Medicine. Setelah lulus, aku bekerja sebagai dosen farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L). Selang beberapa tahun menjadi dosen, aku menikah dan mengikuti suami ke Norwegia mengambil program doktor di Norwegian University of Science and Technology. Setahun setelah suami menjadi mahasiswa S3, aku pun mengikuti jejaknya. Di kampus yang sama, aku melanjutkan pendidikan doktor di bidang molecular epidemiology dengan topik riset analisis multi-omics dari data biobank. Kuliah S3 bersama adalah cita-cita yang kami diskusikan sejak 10 tahun lalu, ketika kami menempuh pendidikan S1 di kampus yang sama.
Beberapa bulan setelah menjadi mahasiswa S3, aku hamil. Sejujurnya, kami memang sudah merencanakannya: kuliah dan program hamil. Aku paham, kuliah S3 dan menjadi orang tua baru adalah kondisi dengan resiko stres tinggi bahkan bisa mengakibatkan depresi. Seorang kenalan yang sedang menempuh pendidikan postdoctoral terkejut ketika kami menceritakan kondisi ini, “welcome to hell!”. Sementara teman lain berteriak, “Hell no! You’re crazy!” Hahaha…
Keputusan untuk program hamil sambil kuliah tentu saja telah melewati diskusi panjang dan pertimbangan. Trimester pertama aku lalui tanpa banyak kendala. Merasa mual tapi masih bisa melanjutkan aktivitas seperti biasa. Keuntungan kuliah di kampus yang sama, pulang pergi bersama dan sesekali menyempatkan makan siang di kantin kampus. We found the romance in the mundane.
Sejak bulan pertama, setiap bulan, aku rutin melakukan kontrol kehamilan, mencari waktu di tengah risetku. Untungnya, risetku adalah lab kering yang bisa dikerjakan dari manapun selama ada akses listrik dan koneksi internet. Saat awal kehamilan aku sempat mengalami pendarahan kecil dan harus beristirahat beberapa hari, tapi aku tetap bisa mengerjakan riset dari rumah.
Tangisan Supervisor Mengetahui Kehamilanku
Salah satu hal yang paling aku khawatirkan saat awal kehamilan adalah cara menyampaikan kondisi ini kepada supervisor. Kami sudah menyepakati rencana riset di awal, khawatir kehamilan dan cuti melahirkan akan menghambat riset kami. Aku tunda menyampaikan berita kehamilanku hingga minggu ke-12, setelah USG pertama, saat janin kami sudah melalui masa beresiko tinggi gugur. Sebagai upaya antisipasi, aku bekerja lebih keras memberikan hasil lebih cepat dari target, agar ketika aku sampaikan berita kehamilanku, supervisorku yakin bahwa kehamilanku tidak akan mengganggu kinerjaku.
Sesuai rencana, pada minggu ke-12 aku sampaikan berita kehamilanku kepada supervisor saat meeting kemajuan riset. Masya Allah… Respon beliau di luar dugaan. ia meneteskan air mata. Karena kaget, dengan polosnya aku bertanya, ”are you sad because I won’t be able to work on our project as planned?” Jawabannya membuatku sangat bersyukur memiliki beliau sebagai supervisor, “not at all, it’s a great news! congratulations!! it was a happy tear”. Sejak saat itu, isi meeting rutinku dengan supervisor mencakup update kehamilan 🙂
Conference dan Winter Course (Sekaligus Babymoon) pada Trimester Kedua
Pada bulan ke-4 kehamilan aku mengikuti konferensi dan menjadi satu dari sepuluh oral presenter terpilih, dan di bulan ke-5 aku mengikuti summer course selama seminggu. Bersyukur, aku dan suami bisa travelling bersama tanpa mengambil jatah cuti. Suami menemaniku seminggu summer course, sambil mengerjakan risetnya secara remote. Hitung-hitung babymoon versi hemat, karena transportasi dan akomodasi sepenuhnya ditanggung universitas. Selain itu, aku juga mendapat jatah ‘uang jajan’ untuk makan 3 kali sehari yang nominalnya cukup untuk makan berdua.


Persiapan Kelahiran
Awal trimester ketiga aku pindah kontrol bulanan ke bidan, agar lebih fokus mempersiapkan kelahiran. Selain pengecekan janin dan kesehatan ibu, aku diberikan materi persiapan menyusui. Jika di Indonesia kita perlu membayar untuk mendapatkan ilmu menyusui melalui kelas-kelas atau konsultasi dengan konselor laktasi, di Norwegia semua tersedia secara gratis melalui website ammehjelpen.no (ammehjelpen literally means ‘the breastfeeding help’). Website ini tidak hanya memuat materi tertulis dan video tutorial, namun juga disertai fasilitas call center untuk bantuan atau pertanyaan seputar menyusui.
Di Norwegia, mahasiswa S3 berhak mendapatkan jatah cuti melahirkan dibayar (paid leave) selama setahun. Ibu dapat mengambil cuti dari 3 minggu sebelum HPL dan wajib mengambil cuti selama 6 minggu setelah anak lahir. Cuti setahun dibagi menjadi 3 bagian, 4 bulan jatah ibu, 4 bulan jatah ayah, dan 4 bulan jatah yang bisa dibagi antara ayah dan ibu (disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing). Memasuki trimester ketiga salah satu kesibukan administratif yang perlu kami urus adalah pendaftaran cuti melahirkan ke supervisor, universitas, dan ke social service. Hak lainnya untuk ibu hamil di Norwegia, dapat mengambil pengurangan beban kerja, misalnya mengambil 80% sehingga hanya bekerja selama 4 hari dalam seminggu. Namun, pengurangan tersebut tidak aku ambil karena masih merasa sanggup dengan beban 100%.
Menjelang akhir kehamilan, kami mulai mempersiapkan barang-barang untuk bayi. Sebagai upaya penghematan, kami menerima barang lungsuran dari orang Indonesia lainnya. Selain itu, di Norwegia terdapat sistem jual beli barang secondhand, melalui aplikasi Finn.no. Misalnya, kami membeli stroller bayi dengan harga 10% dari harga asli, dengan kondisi yang masih sangat layak pakai, lengkap dengan semua aksesorisnya. Kami hanya perlu menghubungi pemilik (sekaligus penjual), lalu kami datang ke rumahnya untuk mengecek kondisi barang, membayar, dan membeli barang tersebut.

Setelah COD (cash on delivery) dengan pemilik sebelumnya kami membawa pulang stroller secondhand yang kami beli.
Menariknya lagi, di Norwegia terdapat Paket Bayi atau disebut Baby Pakke. Paket ini diberikan oleh toko-toko kepada ibu hamil di trimester ke-3 secara gratis. Paket mencakup berbagai kebutuhan bayi mulai dari diapers, breastpad, sabun, hingga dot, pacifier, mainan, dan buku bayi. Kalau dihitung-hitung nominalnya bisa mencapai 5 juta rupiah!
Di akhir masa kehamilan, kontrol semakin rutin, yang tadinya sebulan sekali menjadi dua minggu sekali, dan terakhir seminggu sekali. Sekitar sebulan sebelum melahirkan, kami dijadwalkan briefing melahirkan oleh rumah sakit untuk membahas birth plan, tanda-tanda kelahiran, dan teknis di hari-H. Aku juga bergegas menyelesaikan, merapikan dokumentasi, dan mem-back up pekerjaanku. Khawatir tercecer dan lupa saat selesai maternity leave nanti.
Drama Bolak Balik ke Rumah Sakit
Di Norwegia, ibu yang akan melahirkan tidak diterima di rumah sakit kalau belum masuk fase aktif atau tidak ada kondisi kegawat daruratan. Sebelum ke rumah sakit, kami harus menelepon maternity section untuk menginformasikan kondisi kami dan menentukan apa kami sudah bisa dicek.
Masih ingat betul pertama kali merasakan kontraksi. Aku terbangun pukul 03.00 dini hari karena rasa sakit di perut bagian bawah. Tanpa membangunkan suami yang masih tidur, aku pindah ke sofa di ruang tengah agar bisa tidur bersandar. Pagi harinya suami baru mengetahui bahwa aku sudah kontraksi, saat itu interval masih di sekitar 10-20 menit. Untuk menemaniku dan berjaga-jaga seandainya harus segera ke rumah sakit, suami memutuskan untuk bekerja dari rumah. Sore harinya aku mengalami pendarahan seperti hari pertama haid. Kami langsung menelepon pihak rumah sakit dan datang untuk dilakukan pengecekan. Saat dicek kondisi janin masih normal, air ketuban utuh, dan dinyatakan masih dalam fase laten. Kami lalu pulang, naik turun bus dan tram, dan tidak menginformasikan hal ini kepada siapapun agar tidak menimbulkan kekhawatiran.
Sudah 4 hari berlalu, kontraksi masih terus berlangsung. Pada hari ke-4, pukul 02.00 dini hari kami memutuskan untuk kembali ke rumah sakit karena interval sudah semakin menyempit di 2-6 menit, dengan durasi kurang lebih 1 menit, selama 1 jam. Sesampainya di rumah sakit, ternyata belum ada pembukaan. Kecewa betul kami hari itu, masih ingat kami terduduk berdua di lobby rumah sakit. Terngiang briefing dari bidan tentang tanda kelahiran, the 5-1-1 rule. It didn’t work for us! Ketika kami tanya, lalu bagaimana kami tau kalau ini saja sudah memenuhi 5-1-1 tapi belum juga di fase aktif. Jawaban klise yang membuatku sangat kesal, “you’ll just know”. Well, no, I don’t know as this is my first!
Kami pulang dan pagi itu aku menangis. Sudah 4 hari aku tidak bisa tidur, hanya tidur beberapa menit pada jeda antarkontraksi dan harus dalam kondisi duduk 90 derajat untuk menahan rasa sakitnya. Pada hari ke-5 sampai ke-7 aku berusaha mendistraksi diri, keluar belanja, memasak, dan mengunjungi rumah teman untuk acara housewarming. Pada hari ke-8 aku mulai merasakan sakit yang lebih hebat, tapi karena takut dipulangkan dari rumah sakit untuk ke-3 kalinya, aku berusaha menahan di rumah. Bahkan temanku sempat berkunjung dan mengobrol beberapa jam seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sore hari nya aku merasa makin kesakitan, suami menelepon ke rumah sakit dan jawabannya masih sama, “you can come if you want to so we can check, but most likely we’ll send you home again”.
Beruntung suamiku mengambil keputusan tepat untuk membawaku ke rumah sakit dengan resiko dipulangkan. Ternyata, sesampai di rumah sakit aku sudah pembukaan 4 dan janinku mengalami Takikardia, kondisi dimana, kondisi jantung yang berdetak melebihi 100 kali per menit. Takikardia dapat terjadi sebagai respons dari kondisi normal, penyakit, atau gangguan irama jantung (aritmia). Sehingga, kami langsung diarahkan ke ruangan persalinan. Saat pembukaan 5, aku mengalami pecah ketuban, dan ternyata air ketubanku sudah keruh. Dokter memutuskan untuk menunggu sampai pembukaan lengkap, namun setelah 1 jam aku baru sampai di pembukaan 6 sedangkan detak jantung janinku jatuh ke angka 50. Sudah beresiko gagal janin. Akhirnya, dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi sesar.

Proses Melahirkan yang Dituntut Serba Mandiri
Alhamdulillah, tanpa berlama-lama aku melahirkan. Namun, baru berselang beberapa menit melihat bayiku pertama kalinya, nafasnya tidak begitu bagus dan saturasi oksigennya turun ke angka 70. Jauh dari yang seharusnya di angka 90an. Bayiku langsung dimasukkan ke NICU.
Tidak lama berselang setelah operasi selesai, sesuai birth plan, aku ingin melakukan skin-to-skin untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Dengan segala kehebohannya, aku dibawa ke NICU untuk proses tersebut, saat bayiku masih terpasang banyak selang. Alhamdulillah, masih diberikan kesempatan oleh Allah. Masih teringat betul bayiku tertidur di dadaku selama >1 jam, nyaman sekali, terlihat dari wajahnya yang damai meskipun terpasang selang melalui hidung nya yang kecil.
Setelah itu aku dipindahkan ke ruang perawatan. Hari pertama kami fokus melakukan perah tangan untuk mengumpulkan kolostrum untuk dikirimkan ke NICU. Selang sehari, anakku dipindahkan ke NICU yang lebih rendah tingkat kegawatannya. Kami diberikan 1 kamar di NICU tersebut dimana, diluar dugaan kami, ternyata kami yang harus mengurus anak kami sendiri meskipun masih di NICU! Karena aku masih sangat kesakitan pasca operasi, maka suamikulah yang menjaga bayi kami di NICU. Suami diajarkan cara mengganti popok, menenangkan bayi, dan memberikan susu melalui selang menggunakan syringe.
Pada hari ke-3 anak kami sudah bisa rawat gabung bersamaku. Di sini, bayi tidak langsung dimandikan oleh perawat seperti di Indonesia. Anakku hanya dibersihkan seadanya oleh perawat. Masih ingat ketika awal proses menyusui, aku sambil membersihkan mekonium yang sudah mengering di rambutnya, yang bercampur air ketuban saat proses persalinan. Ketika ditanya kapan aku bisa memandikan bayiku, dianjurkan untuk menunggu minimal di hari ke-4. Itu pun kami yang harus memandikan sendiri.
Pada hari ke-3 aku mengalami demam tinggi, dengan indikasi infeksi sehingga aku harus tinggal lebih lama untuk diinfus antibiotik. Aku yang masih kesakitan pasca persalinan, ditambah demam tinggi dan menggigil, tidak bisa berbuat banyak untuk bayiku. Aku hanya fokus menyusui. Selebihnya suamikulah yang mengurus bayi, termasuk menuntunku yang belum bisa bergerak banyak untuk bolak balik ke toilet, hingga mengambilkan makanan di pantry. Ya, di sini makanan tidak diantar ke kamar seperti di Indonesia; kami yang harus mengambil makanan sendiri sesuai jadwal yang diberikan.
Selama tujuh hari kami di rumah sakit, hanya kami berdua yang mengurus anak. Perawat masuk hanya mengganti infus, memberikan obat, dan mengajarkan kami cara mengurus newborn. Aku juga rutin dipandu cara menyusui yang benar. Lelah sekali rasanya baru selesai operasi dan dalam kondisi demam harus melakukan banyak hal sekaligus. Namun kami sangat bersyukur, minggu tersebut kami anggap sebuah intensive training on how to take care of a newborn. Kami belajar berbagai media pemberian ASI dan 5 posisi menyusui.

Beruntungnya sistem di Norwegia melarang adanya kunjungan sehingga pasien dapat fokus pemulihan dan belajar perawatan bayi. Bahkan, saat orang tuaku datang dari Indonesia, kami hanya dapat bertemu di depan lift.
Dukungan Sistem di Norwegia untuk Ibu dan Bayi
Banyak sekali rasa syukur kami terhadap dukungan yang kami rasakan disini. Mulai dari maternity leave yang diberikan dari 3 minggu sebelum HPL, sehingga aku masih sempat beristirahat dari risetku, nesting, dan semakin rutin berjalan kaki/senam hamil untuk mempersiapkan kelahiran. Suami yang diberikan jatah cuti 2 minggu setelah melahirkan (diluar jatah 4-6 bulan paternity leave). Seluruh biaya kontrol kehamilan dan melahirkan yang gratis. Total kami hanya membayar kurang lebih 3 juta rupiah untuk biaya makan suami dan menginap di rumah sakit, serta ongkos transportasi bolak balik ke rumah sakit.
Setelah melahirkan pun terdapat kunjungan dari bidan ke rumah untuk mengecek kondisi ibu dan bayi, sambil dicek apakah menyusui sudah benar atau tidak. Kami juga langsung diberikan jadwal kunjungan ke puskesmas terdekat untuk pengecekan rutin dan bimbingan mengurus newborn. Pada minggu ke-6 kami mendapatkan kelas group consultation dimana aku dan ibu lainnya diberikan kuliah singkat dan diskusi seputar tumbuh kembang dan vaksinasi bayi. Ibu juga mendapat perhatian khusus misalnya kontrol menyusui, postur tubuh, dan kesehatan mental. Di minggu ke-6 itu juga pengecekan lengkap oleh dokter spesialis anak. Ibu juga mendapat screening post-partum depression. Terdapat call center apabila ibu membutuhkan dukungan mental, misalnya mengalami stress berat atau depresi. Diluar dugaanku, ternyata setiap bulan bayi juga mendapat tunjangan dari pemerintah Norwegia yang nominalnya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya.

Adaptasi Sebagai Orang tua Baru Sambil Menjalani Pendidikan Doktor
Setelah orang tuaku pulang, kami kembali hidup berdua menjalani lika liku menjadi orang tua baru. Aku bersyukur sekali memiliki suami yang sangat suportif. Rasanya tidak mungkin bisa menjalaninya tanpa dukungan penuh suami. Apalagi di bulan pertama yang membuatku cukup down dan merasa belum bisa menjadi ibu yang baik, suami yang selalu menguatkan sambil deep talk di tengah malam saat anak kami tertidur. Padahal, ditengah kesibukan menjadi orangtua baru, ia juga digempur berbagai deadline yang datang bersamaan: revisi manuskrip, presentasi konferensi, submit paper, dan mid-term evaluation tapi, ia tetap menyempatkan hadir di setiap jadwal kontrol bayi kami. Ia juga membantu berbelanja, serta bergantian merawat bayi kami sehari-hari terutama sepulangnya bekerja agar aku bisa mandi dan menyiapkan makan malam. Ia juga seringkali membantu menidurkan bayi kami, sehingga aku bisa beristirahat sebentar. Karena ia full bekerja di siang hari maka aku yang bertugas ‘shift malam’ agar suami bisa tidur cukup 6-8 jam sehari, sesekali ia membantu jika aku sedang kewalahan. Saat umur bayiku 2 bulan, aku mulai bisa kembali menjalani online course untuk tetap memiliki kemajuan dalam risetku. Berkat dorongan dan dukungan suami yang mau bergantian menjaga bayi kami ketika aku sedang fokus dengan course ku, kurang lebih 1 jam sehari.
Semenjak bayi kami berumur sekitar 1,5 bulan, kami menerapkan rutinitas yang teratur setiap harinya. Rutinitas membantu kami tetap hidup ‘normal’; rumah kami tetap terurus, bahkan kami tetap bisa makan malam proper sambil menonton series setiap harinya, menghabiskan quality time berdua sama seperti dahulu sebelum mempunyai anak. Di bulan September nanti, suami akan menghadiri conference, aku dan bayi kami akan ikut sebagai cheerleader sekaligus liburan hemat ala PhD student. Mulai desember nanti, saat masa maternity leave sudah habis, bergantian suami yang mengambil paternity leave. Aku yang akan menghadiri conference, suami dan bayi kami yang menjadi cheerleader!
It takes some time to adjust to our new life as first time parents, we learned mostly about endless patience and the power of consistency. Now, our life is much more colorful than ever! Banyak yang masih perlu dipelajari, tapi semoga seterusnya lebih baik, insya Allah.
Ditulis oleh Alya Ghina Aqila Arham dan diedit oleh Aprilina Prastari untuk PhD Mama Indonesia.
