Book Club Series 1 – Invisible Women: Data Bias in a World Designed for Men

Tanggal 2 Agustus 2024, Tim Book Club tengah mengadakan kembali event yang telah lama vakum di tahun lalu, Daster Pintar. Event ini tak lain adalah sebuah review buku secara online yang dilakukan bersama – sama para member dan didampingi oleh fasilitator yang merupakan seorang ahli sastra, Prof. Dra. Pratiwi Retnaningdyah, M.Hum., M.A., Ph.D, dosen Universitas Negeri Surabaya.

Berjudulkan, Invisible women. Data bias in a world designed for men by Caroline Criado Perez, menjadi buku pertama dalam yang di review bersama oleh para Daster Pintar ini. Buku setebal 400 halaman, dan ditulis dalam Bahasa Inggris, ini tidak menyurutkan semangat pembaca karena ditulis dalam bahasa yang ringan dan dengan topik yang ‘perempuan’ banget. Disusun dengan cara yang mudah dipahami, Invisible Women dimulai dengan studi kasus kehidupan sehari-hari perempuan, kemudian diperluas ke luar di setiap bagian dengan menyoroti berbagai peran yang dimainkan perempuan dalam segmen masyarakat yang semakin luas. Penulis dengan rapi membagi pengalaman-pengalaman ini ke dalam enam bidang studi yang saling terkait: kehidupan sehari-hari, tempat kerja, desain produk, pergi ke dokter, kehidupan publik, dan ‘ketika terjadi kesalahan’ – bagian terakhir yang mengeksplorasi kegagalan kebijakan terkait bencana.

Diskusi yang berjalan selama 2 jam ini dimoderatori oleh Shiva Devy, full membahas isi buku yang sangat relate dengan kondisi terkini sebagai seorang Perempuan. Ternyata, selama ini kita tidak menyadari bahwa dunia ini memang di desain untuk para lelaki.

“Saya itu baru sadar kalau ukuran HP semakin lebar dan tidak women friendly.” Ujar salah satu peserta Daster Pintar. Ia merasa bahwa gadget yang paling nyaman secara ukuran adalah iPhone13. Namun, ukuran tersebut ketika dikonfirmasi ke petugas di Apple Store, mengatakan sudah tidak laku dipasaran sehingga discontinued. Padahal, tambahnya, setiap produk itu punya target pasarnya sendiri. Sangat disesalkan karena banyak Perempuan yang tidak menyadari hal se-sepele ini yang mungkin bisa berimbas ke kesehatan jari – jemarinya ketika menggunakan gadget yang tidak sesuai dengan ukuran tangannya.

Selain itu, banyak peserta webinar yang mengeluhkan ketidak adilan yang mereka alami di instansi kerjanya. Over-workload salah satunya. Perempuan kerap dibebankan ke pekerjaan yang berkaitan dengan administrative yang membuat pekerja Perempuan tersebut bekerja secara overtime dan tidak diberikan upah lembur yang layak.

Bahkan belum tersedianya fasilitas daycare yang disediakan oleh instansi swasta, hanya beberapa BUMN atau instansi pemerintah saja yang sudah tersedia fasilitas tersebut itupun hanya terbatas di usia 1-3 tahun atau 1-5 tahun saja dengan waiting list yang cukup panjang.  Termasuk juga ruang laktasi. Tidak sedikit di ruang terbuka hijau, para ibu ini kesulitan menemukan ruang laktasi yang nyaman untuk sekedar mengganti popok bayi atau menyusui si kecil.

Tidak sampai disitu saja, ada beberapa instansi yang tidak memperbolehkan pasangan suami istri bekerja di kantor yang sama dengan dalih professionalitas. Alhasil, tidak sedikit Wanita karier yang rela melepas kariernya (resign) ketika menikah dengan salah satu rekan kerjanya, dan memulai karier barunya ditempat lain.

Mbak Tiwi, sapaan akrab Prof. Pratiwi, menutup bedah buku malam hari ini dengan menyampaikan beberapa key take away untuk peserta webinar. Diantaranya hanya ada satu solusi atas ketimpangan gender ini, yakni dimulai dari diri kita sendiri. Kita harus berani menyuarakan hak kita sebagai perempuan dan makhluk hidup di muka bumi ini. Kita, perempuan juga harus mulai membuat kegiatan berbasis kesetaraan gender untuk menunjukkan bahwa kita bukanlah the Invisible Women. ()

Artikel dirangkum oleh Laksita Gama Rukmana dan ditulis oleh Aini Khadijah untuk PhD Mama Indonesia.

Leave a comment