Di Indonesia, tanggal 21 April biasanya diperingati bersama sebagai Hari Kartini. Hari tersebut adalah hari lahir seorang Raden Ajeng Kartini, seorang aristokrat Jawa yang menjadi simbol emansipasi bagi perempuan Indonesia. Di tahun 2024 ini, saatnya kita berefleksi, sudah sejauh mana perempuan bisa berdaya dan mencapai cita-citanya? Berkaitan dengan momentum tersebut, saya menuliskan kisah seorang perempuan bernama Dyah Ayu Widowati.
Pagi itu, di sebuah kampus di Amsterdam, saya duduk bersama Mbak Dyah. Kami duduk di pantry Departemen Antropologi, Universitas Amsterdam. Saya sebenarnya berniat mewawancarai Mbak Dyah tentang bagaimana pengalaman menjalani bulan Ramadan di perantauan. Namun, kami ternyata terlalu asyik mengobrol tentang hal-hal lain seputar perjuangan menjalani kuliah doktoral sebagai seorang ibu.

Q: Halo Mbak Dyah, bisa ceritakan sedikit tentang latar belakang pekerjaan Mbak Dyah dan topik riset untuk S3 ini?
A: Saya seorang dosen hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada. Karena background saya dari konsentrasi Hukum Agraria, riset saya mengkritisi implementasi kebijakan agraria yang berbasis hukum. Untuk riset S3, saya akan mengkaji isu pengelolaan sumber daya alam, tepatnya di Special Economic Zone (Kawasan Ekonomi Khusus). Riset saya berangkat dari permasalahan di kepulauan-kepulauan kecil di Indonesia, misalnya penambangan pasir dan ekploitasi sumber air. Selain itu, ada juga masalah paradoks yang kerap terjadi di kawasan-kawasan ekonomi khusus, yaitu meskipun banyak investasi pembangunan, angka kemiskinan tetap tinggi. Jika demikian, untuk siapa pembangunan itu dilakukan?
Untuk riset saya ini, saya akan mengambil data melalui studi lapangan di Labuan Bajo. Melalui riset ini juga, saya ingin memotivasi mahasiswa-mahasiswa saya yang mengambil konsentrasi Hukum Agraria. Hukum Agraria adalah konsentrasi yang kurang diminati oleh mahasiswa karena dianggap jurusan yang kurang dibutuhkan di dunia kerja. Padahal, Hukum Agraria adalah bidang yang bisa masuk ke ranah yang luas dan dibutuhkan di berbagai bidang, terutama dalam konteks pembangunan. Selain itu, Indonesia kaya akan sumber daya alam sehingga tentunya dibutuhkan banyak ahli di bidang Hukum Agraria.
Q: Mbak Dyah, bagaimana cerita awalnya bisa memutuskan untuk mengambil S3 dan berangkat dengan anak saja tanpa ditemani oleh suami?
A: Saya tidak memiliki pilihan lain. Suami saya tidak bisa ikut karena mengejar karier di Indonesia. Saya sudah bercita-cita untuk kuliah S3 sejak lama, kesempatan ini (mendapatkan beasiswa—red) juga bukan kesempatan yang akan datang dua kali. Anak saya pun dekat sekali dengan saya sejak lahir. Kami tidak terpisahkan. Karenanya, anak pun ikut dengan saya.
Awalnya, karena suami kurang mendukung saya untuk ambil sekolah di luar negeri, saya berusaha mengalah dengan mencari kuliah S3 di dalam negeri. Namun, kenyataannya, saya kesulitan mencari ahli di dalam negeri yang bisa membimbing topik disertasi saya. Saya akhirnya bercerita kepada suami tentang kesulitan saya mendapatkan supervisor di kampus tujuan saya di dalam negeri. Sementara itu, saya sudah menemukan beberapa dosen di luar negeri yang keahliannya sesuai dengan bidang saya—karena tujuan saya kuliah lagi adalah mendapatkan ilmu yang mendalam di bidang saya agar hasil dari kuliah saya benar-benar ada manfaatnya bagi orang lain, minimal bermanfaat untuk mahasiswa. Suami saya mengatakan sulit bagi saya untuk mendapatkan sekolah di luar negeri, yang kemudian saya challenge, jika saya bisa mendapatkan sekolah di luar negeri maka suami saya akan mengizinkan untuk kuliah di luar negeri. Saat itu, suami mengatakan bahwa silakan saja jika memang bisa mendapatkan beasiswanya. Alhamdulillah, dalam percobaan pertama, saya mendapatkan beasiswa BPI (Beasiswa Pendidikan Indonesia).
Q: Apa ada omongan-omongan miring tentang keputusan Mbak Dyah ini?
A: Tentu saja banyak! Haha! Saya sudah kenyang dianggap sebagai perempuan ambisius, gak santai, dan ribet. Tetapi, saya nggak suka kalau dibilang perempuan ambisius. Menurut saya, ambisius itu konotasinya sering kali negatif, seperti ingin mencapai hal tertentu tapi menghalalkan segala cara. Orang yang ambisius juga seringkali tidak menerima kenyataan yang ada.
Bedakan hal itu dengan “perempuan yang bercita-cita”. Nah, itu saya! Saya adalah perempuan yang bercita-cita tinggi. Buat saya, dengan memiliki cita-cita, kita akan memiliki energi dalam menjalani hidup sehingga dapat menarik energi positif yang membawa manfaat. Dengan niat baik ingin mencari ilmu, saya mengusahakan jalan menuju cita-cita saya, dengan cara yang halal, melakukan usaha-usaha yang baik, dan kemudian memasrahkan usaha saya tersebut kepada Allah. Dengan saya pasrahkan usaha saya kepada Allah, apapun hasilnya saya terima. Jika saya gagal meraih cita-cita saya maka saya akan menentukan cita-cita lain. Kembali lagi pada prinsip saya bahwa fungsi dari cita-cita adalah untuk mendatangkan energi positif. Cita-cita adalah instrumen agar saya dapat semangat menjalani hidup dan syukur-syukur kalau bisa bermanfaat bagi orang lain.
Begitu pula dengan anggapan orang-orang terhadap saya yang katanya gak santai dan ribet. Bedakan itu dengan “antisipatif”—memikirkan skenario-skenario terburuk di depan sana dan memiliki rencana yang matang. Saya selalu mempersiapkan segalanya dari jauh hari. Saya itu orangnya prepare (penuh persiapan—red) banget. Walaupun dikomentari orang lain, “Jadi orang ribet banget, sih, belum kejadian udah disiapin”, tetapi begitulah halnya menjadi seorang ibu dan perempuan di lingkungan yang masih sangat patriarkis. Kita harus bisa mandiri dan tidak bergantung kepada siapapun, terutama terkait persoalan finansial. Saya sudah menabung lama, bahkan jauh sebelum menikah, untuk mempersiapkan rencana saya kuliah S3. Saya merasa, dengan saya memiliki tabungan finansial, saya jadi lebih percaya diri membawa anak saya ikut serta ke Belanda.
Q: Apa tantangan membawa anak untuk menemani sekolah dan hanya sendiri saja mengurusnya?
A: Banyak! Salah satunya, tantangan untuk penyesuaian anak dalam bersekolah di Belanda, tantangan membagi waktu untuk anak, sekolah, dan diri sendiri, serta tantangan finansial.
Misalnya, anak saya (umur 6 tahun—red) kesulitan untuk mendapatkan sekolah yang mau menerima dia waktu baru pertama kali datang. Ketika dia belum mendapatkan sekolah, otomatis saya jadi nggak bisa ngapa-ngapain. Setelah mendapatkan sekolah pun, masih ada tantangan untuk anak saya dalam penyesuaian iklim, kultur budaya, dan penggunaan bahasa lokal. Hal-hal inilah yang terkadang membuat anak saya ingin menyerah dengan bilang bahwa dia ingin pulang ke Indonesia. Untuk itu, saya berusaha perlakukan anak selayaknya teman. Saya tanyakan apa yang membuat dia lelah dan ingin menyerah lalu apa yang kira-kira dapat membantu dia mengatasi hal tersebut. Jika dia tidak memahami apa hal yang dapat menjadi solusi, saya akan menawarkan beberapa opsi solusi, dan dia akan memilih opsi mana yang diinginkan. Pada akhirnya, kami dapat menemukan solusi bersama dengan metode diskusi seperti itu. Saya selalu meminta anak saya untuk dapat melakukan teamwork dengan saya selama menjalani hidup di Belanda agar dia merasakan kehidupan di Belanda tidak lebih dari hanya sekadar permainan. Saya ingatkan dia agar kami dapat menjalankan tugas masing-masing, bahwa jika salah satu menyerah maka kerja tim akan gagal.
Tantangan lainnya adalah saya harus mengantar-jemput anak sehingga harus menyesuaikan dengan jadwal kuliah dan juga waktu untuk menulis riset. Terkadang, bisa jadi baru saja saya mendapatkan ide untuk menulis, tapi ternyata sudah waktunya menjemput anak sekolah. Saya hanya bisa menuliskan ide saya di handphone supaya tidak lupa. Ide tadi baru bisa saya tulis dengan proper ketika saya sudah selesai dengan urusan rumah dan anak. Buat saya, waktu yang paling baik untuk menulis hanya ketika anak tidur karena tidak terpotong jadwal kelas atau antar jemput anak sekolah. Ketika di rumah, jika anak belum tidur, ia akan sibuk mengajak ngobrol sehingga saya tidak bisa kerja dengan tenang, hehehe.
Namun, waktu di malam hari itu pun tidak dapat saya fokuskan hanya untuk menulis riset, tetapi juga untuk menyelesaikan beberapa side job yang dikerjakan secara remote untuk tambahan pemasukan—karena memang biaya hidup di Amsterdam sangat mahal. Jadi, di sinilah pentingnya memiliki kemampuan untuk membagi waktu dan disiplin dengan waktu yang telah ditetapkan tersebut sebagai bentuk survival skill. Agar dapat menyelesaikan berbagai pekerjaan tersebut, biasanya saya membuat skala prioritas yang standarnya adalah deadline yang diberikan untuk setiap kegiatan.

Q: Dari sekian banyak tantangan yang sudah Mbak Dyah sebutkan di atas tadi, bagaimana Mbak Dyah bersiasat untuk mengatasinya?
A: Saya selalu percaya setiap masalah pasti ada solusinya. Asal kita mau kreatif mencari jalan keluar, aktif mencari informasi, dan tidak lupa meminta kepada Allah untuk dibukakan jalan keluar. Saya belajar bahwa kita tidak bisa menggantungkan nasib kita kepada manusia. Hanya kepada Allah, kita bisa minta bantuan. Dari situ, setelah minta bantuan sama Allah, biasanya saya merasa ada solusi. Banyak keajaiban terjadi selama saya menjalani kehidupan saya di sini. Bantuan selalu datang tanpa terduga. Misalnya, anak saya tiba-tiba dibantu untuk mendapatkan sekolah dari informasi supervisor saya. Saya ini nggak enakan kalau minta bantuan sama orang lain, apalagi sama supervisor. Ada rasa sungkan, takut merepotkan. Tapi, tiba-tiba supervisor saya tanya, “Ada masalah apa yang bisa saya bantu?” Saya kaget dan cukup terharu, beliau perhatian dengan kehidupan nonakademis saya.
Terkait finansial, tantangan saya ada di dana beasiswa yang tidak cukup untuk hidup berdua dengan anak, terlebih pada tahun pertama ketika anak belum mendapatkan tunjangan dari beasiswa. Kondisi ini membuat saya harus “makan tabungan”, terutama pada awal kedatangan yang banyak membutuhkan dana untuk mengisi furnitur rumah sewa yang masih kosong. Saya berpikir, kalau tabungan saya habiskan di awal (menetap di Belanda—red), bagaimana untuk tahun-tahun berikutnya? Untuk itulah, saya masih banyak mengambil pekerjaan yang remote. Ketika saya mulai merasa kelelahan karena harus menanggung segalanya sendiri, tiba-tiba saya mendapatkan informasi terkait mother allowance atau tambahan tunjangan dari pemerintah Belanda untuk ibu-ibu yang mengurus anaknya sendirian. Anak saya pun mendapatkan tunjangan anak. Hal ini tentu mengurangi beban saya untuk mencari side job sehingga saya bisa fokus pada kuliah saya. Saya merasa solusi tersebut hadir karena saya selalu curhat sama Allah. Saya lari ke Allah. Setelahnya, solusi biasanya hadir dari arah yang tidak terduga. Do the best and let God do the rest.
Q: Apa yang Mbak Dyah lakukan untuk merawat kesehatan mental diri sendiri?
A: Biasanya saya pakai waktu ketika anak sekolah untuk menghabiskan waktu dengan diri saya sendiri. Saya senang jalan-jalan, sih. Jalan kaki, lihat-lihat, sebentar aja. Lalu, foto-foto pemandangan. Itu sudah cukup me-recharge saya. Saya sadar betul saya tidak bisa mengurus anak saya dengan baik kalau mental lagi nggak bagus. Jadi, saya usahakan untuk me-time. Kalau anak sedang di rumah juga, saya minta izin sama dia, bunda boleh istirahat sebentar di kamar? Lalu saya istirahat di kamar, sekadar ngopi dan ngemil, sembari baca buku atau journaling. Tidak perlu kegiatan yang mahal dan di luar rumah, tetapi dapat juga melakukan kegiatan sederhana di rumah yang menenangkan. Alhamdulillah, anak saya pengertian banget dan dia bisa main sendirian di saat saya sedang butuh istirahat.
Selain itu, saya juga manage stress dengan tidak mengharapkan support system. Terkadang respons dari orang lain tidak sesuai dengan ekspektasi kita, ketika ada masalah bukannya jadi ringan malah justru menambah beban. Support system sesungguhnya adalah privilege yang tidak semua orang bisa dapatkan. Oleh karena itu, kehidupan mengajarkan kepada saya bahwa langkah yang terbaik dalam menjalani hidup adalah tidak mengharapkan apapun dari manusia agar tidak kecewa dan cukup mengandalkan diri sendiri dengan terus mengasah skill, serta, yang utama, selalu libatkan Allah dalam setiap tindakan. Pada awalnya saya tidak percaya dengan penguatan mental menggunakan jalur spiritual, tetapi ketika saya sudah tidak memiliki siapapun dan hanya dapat curhat ke Allah, ternyata justru saya selalu menemukan solusi atas masalah yang saya hadapi.

Q: Mbak Dyah ada pesan nggak buat perempuan-perempuan yang juga punya keinginan melanjutkan pendidikan tapi nggak mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat?
A: Yang pertama, semua orang itu punya jalannya sendiri, langkahnya sendiri. Jangan membandingkan perjalanan PhD kamu dengan siapapun. Ketika kita mulai compare hidup kita, misalnya, “Duh, kok, aku nggak sekolah-sekolah, ya? Kok orang lain sekolah tinggi?” Nanti kita jadi minder, buang-buang waktu, kan. Fokus dengan apa yang ada di depan mata dan buatlah (rencana—red) cita-cita serta langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapai cita-cita itu. Kalau gagal dalam langkah yang sudah dibuat bagaimana? Istirahat saja dulu, kalau lelah, jangan dipaksakan. Jika dipaksakan malah justru akan menjadi beban. Nikmati saja apa yang ada. Ketika sudah cukup energi, kita bisa kembali ke langkah yang sudah dibuat atau merancang langkah baru yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan yang sudah kita buat sendiri dan juga mempersiapkan keikhlasan jika ternyata apa yang kita inginkan tersebut tidak tercapai—karena artinya itu bukanlah hal yang kita butuhkan. Kita dapat selalu merancang cita-cita lain.
Lalu, bagaimana caranya kita tahu bahwa itu bukan takdir kita? Kalau saya biasanya akan memberikan deadline pada target saya. Jika pada deadline yang saya tetapkan, target tersebut tidak tercapai maka itulah saatnya saya menggantinya dengan yang lain. Kita tidak perlu membuang waktu membuka pintu yang memang tertutup untuk kita dan lebih baik fokus mencari pintu yang terbuka untuk kita. Percaya dengan timing (yang diberikan—red) Allah. Timing yang diberikan Allah selalu yang terbaik dan pasti itu diberikan di saat kita memang sudah siap mendapatkannya.
Saya dulu minder dengan teman-teman yang mendapatkan PhD di usia muda. Tapi ternyata memang skenario dari Allah paling perfect. Allah itu mengatur segala sesuatu dengan sangat bagus sekali. Saya mendapatkan PhD sekarang, ketika anak sudah 6 tahun, jadi ia bisa diajak komunikasi dan bisa bersekolah mandiri di sini. Meski bebannya berat karena membawa anak, tapi juga memberikan motivasi yang makin besar (untuk cepat selesai PhD—red). Yang dibutuhkan untuk menyelesaikan S3 adalah konsistensi dan ketekunan dan itu bisa didapatkan dengan memiliki motivasi yang kuat.
Yang kedua, selalu siapkan long term plan. Jadi, nggak bisa,kita mau sekolah tinggi, bawa anak, terus persiapan kita ugal-ugalan. Jangan cuman persiapan (urusan studi—red) ibunya, tapi juga persiapkan anaknya. Saya sudah mempersiapkan anak saya, jauh sebelum saya tahu bahwa saya akan S3 ke luar negeri. Saya siapkan saja dia. Misalnya, dengan cara saya melatih kemandirian, mengajarkan cara bersikap di lingkungan baru, belajar berkomunikasi dengan saya secara intens tentang apapun. Saya bisa mengobrol dengan anak tentang apa yang dialami saat masa transisi pindah dari Indonesia ke Belanda. Saya juga bisa saling terbuka dengan anak, misalnya, ketika saya lelah, butuh istirahat, atau sedang sedih. Anak saya tumbuh menjadi anak laki-laki yang lemah lembut, pengertian sama kegiatan ibunya—saya bawa dia kemana-mana—dan terbuka sama saya.
Ditulis oleh relawan PhD Mama, Rizkyana Dipananda (Kyana), seorang ibu yang sedang menempuh studi doktoral Universitas Amsterdam jurusan Antropologi dengan skema pendanaan dari Dutch Research Council (NWO). Selain itu Kyana juga bekerja paruh waktu sebagai pekerja riset di departemen yang sama. Dipublikasi oleh Nofia Fitri (Tim Produksi Blog) untuk PhD Mama Indonesia.
