Refleksi Tentang Ramadhan Jauh Dari Tanah Kelahiran

Selamat Ramadhan untuk Mama keren yang penuh inspirasi, salam 24 jam!

Kali ini PhD Mama Indonesia berkesempatan untuk mewawancarai Elvina Nur Anita, atau yang akrab dipanggil Vina, seorang Mama yang luar biasa dengan banyak peran: sebagai ibu, istri, pegawai negeri sipil, pembawa acara, penerjemah, alumni Beasiswa Chevening, dan saat ini sedang mengejar gelar S3 melalui beasiswa LPDP. Vina juga pernah menjadi editor jurnal. Wawancara ini bertujuan untuk berbagi pengalaman tentang masa kuliah dan Ramadhan di luar negeri.

Vina bekerja sebagai pegawai negeri di bidang hukum dan kerjasama di Badan Pengembangan SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang sebelumnya dikenal sebagai Badan Litbang SDM Kementerian Kominfo. Dia menyelesaikan S2 di Edinburgh Law School, Inggris dengan Beasiswa Chevening, dan saat ini sedang menempuh program S3 di Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia, dengan beasiswa LPDP. Selain merasakan Ramadhan saat S2 di Inggris, Vina juga pernah mengalami Ramadhan di Leiden ketika mendampingi suaminya yang sedang menempuh S2 di Leiden, Belanda.

Sebelum membahas Ramadhan, kami menanyakan kepada Vina tentang pengalaman kuliah di luar negeri. Pertanyaan pertama yakni bagaimana cara menyesuaikan diri dengan cuaca di negara yang suhunya sangat berbeda dengan Indonesia. Dia menyebutkan bahwa menyesuaikan diri dilakukan dengan memakai pakaian berlapis-lapis dan merencanakan pakaian serta aksesori yang akan digunakan keesokan harinya dengan memeriksa prakiraan cuaca. Aksesori tersebut meliputi payung, topi, dan kacamata hitam. Hal ini juga berlaku saat berpuasa di bulan Ramadhan, untuk menjaga suhu tubuh agar tidak terlalu tinggi, pakaian dan aksesori sangat berpengaruh, sehingga perencanaan yang baik sangat dianjurkan. Selain itu, Vina juga menyarankan untuk selalu membawa botol minum agar tidak dehidrasi. Disebutkan juga bahwa di Eropa botol minum mudah untuk diisi ulang karena disana air keran bisa langsung diminum.

Pertanyaan selanjutnya mengenai pembelajaran. Vina mengatakan bahwa pendekatan pembelajaran di luar negeri berbeda dengan di Indonesia, yang sejak kecil sudah dibiasakan untuk membaca dan berpikir kritis. Contohnya, saat S2 di Inggris, beberapa minggu sebelum perkuliahan dimulai, sudah diberikan handout berisi materi yang harus dipersiapkan, termasuk silabus dan daftar bacaan, serta ekspektasi yang diharapkan dari mahasiswa. Hal ini bertujuan agar saat perkuliahan dimulai, bisa langsung terjadi diskusi antara dosen dan mahasiswa, dan mahasiswa bukan hanya menerima materi dari dosen. Di tingkat S3, pendekatan pembelajarannya lebih mendalam dan kritis karena mahasiswa tidak hanya diharapkan mengetahui masalah, tetapi juga memahami inti masalahnya. Penguasaan membuat tulisan dengan format jurnal yang harus diserahkan secara regular kepada pengawas sangat diperlukan. Vina menekankan pentingnya membaca banyak literatur dan berserah diri serta berdoa, terutama saat situasi menuntut dan mempengaruhi emosi. Selain memperkaya pengetahuan, penting juga untuk memperkuat mental.

Kemudian, kami membahas tentang Ramadhan. Vina menyebutkan bahwa Ramadhan di luar negeri lebih menantang dan menguji diri karena:

1.      Waktu berpuasa lebih panjang. Di Edinburgh dan Leiden, karena Ramadhan bersamaan dengan musim panas, waktu berpuasa panjang, dimulai sekitar pukul 02.30 sampai sekitar pukul 22.00. Sedangkan di Melbourne, waktu berpuasa tidak sepanjang itu, dimulai sekitar pukul 03.30 sampai sekitar pukul 20.00.

2.      Waktu shalat yang berbeda dari Indonesia, yang mengharuskan lebih siap dan disiplin.

3.      Jadwal kegiatan kampus tidak berubah, jadi meskipun dalam keadaan berpuasa dan relatif lemas, harus tetap aktif seperti biasanya. Untuk mengatasinya, penting untuk sadar akan kondisi tubuh dan menyesuaikan pakaian agar lebih nyaman.

Selama Ramadhan, Vina biasanya memasak sendiri di rumah. Untuk kebutuhan protein, dia membeli di toko makanan halal, sementara sayurannya dibeli di minimarket. Jika kadang merasa bosan atau malas memasak, dia akan pergi ke restoran halal makanan Cina karena harganya terjangkau dan porsinya besar. Tidak ada makanan khas Ramadhan di luar negeri, hanya makanan khas dari setiap kota. Mengenai kebersamaan, karena mahasiswa Indonesia di Edinburgh sangat sedikit, jarang ada makan bersama selama Ramadhan. Berbeda dengan di Leiden, di sana terdapat komunitas mahasiswa Indonesia yang anggotanya cukup banyak, sehingga sering dilakukan acara potluck dan makan bersama selama Ramadhan.

Untuk tarawih, pengalaman di Edinburgh dan Leiden juga berbeda. Di Edinburgh, ada masjid besar di area kampus yang bisa digunakan untuk shalat tarawih dan shalat Idul Fitri, sehingga meskipun waktu Isya sangat larut, tarawih masih bisa dilakukan di masjid karena lokasinya dekat. Di Leiden, karena waktu Isya sangat larut dan masjid cukup jauh dari tempat tinggal dan harus menggunakan trem, tarawih dilakukan di rumah. Komunitas Muslim di Leiden lebih banyak dan jumlah masjid juga lebih banyak dibanding di Edinburgh. Di Melbourne, seperti di Leiden, masjidnya cukup jauh dan harus naik trem dari tempat tinggal. Terkait pengajian, di Leiden belum ada kegiatan pengajian saat Ramadhan. Adapun saat di Leiden, di beberapa kesempatan, diadakan pengajian bersama dengan komunitas Indonesia di sana. Di Melbourne, kegiatan pengajian lebih banyak dilakukan secara online.

Vina, sebagai seorang ekstrovert, merasa momen paling mendalam di luar negeri selama Ramadhan adalah momen berkumpul dan memasak bersama, serta menghadiri acara potluck dengan teman-temannya untuk kemudian berbuka bersama. Rasa kebersamaan ini terasa lebih kuat saat berada di luar negeri, karena di Indonesia, berbuka puasa adalah rutinitas yang biasa dilakukan, sedangkan di sana, Vina merasakan rasa cinta dan persaudaraan dengan sesama Muslim yang lebih kuat.

Diskusi tentang Ramadhan telah selesai, selanjutnya sebagai penutup, kami bertanya kepada Vina tentang bagaimana dia menyeimbangkan peran pribadi, profesional, dan komunitasnya. Bagaimana cara mengelola waktu secara efektif dan apa yang dilakukannya untuk “me time“? Vina menjelaskan bahwa memiliki tujuan dalam hidup sangat penting, dan kita perlu tahu apakah tujuan kita. Dia juga mengutip ajaran Nabi Muhammad SAW bahwa manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi orang lain, baik untuk keluarga maupun untuk komunitas. Untuk mencapai hal tersebut, penting untuk membagi waktu dengan prioritas yang jelas, termasuk menyisihkan waktu untuk diri sendiri. Ketika terlalu sibuk, penting untuk menyadari dan mengambil waktu untuk diam. Vina menikmati “me time” dengan pergi sendirian (purposeless wandering) dan benar-benar terhubung dengan sekitar, baik alam maupun orang baru. Saat itu, dia sering mendapatkan pengetahuan atau ide baru, termasuk ide untuk proyek sebagai mahasiswa, pekerja, atau anggota komunitas.

Wawancara yang sarat dengan wawasan dan pemikiran menarik bersama Mama inspiratif, Elvina Nur Anita, telah memberikan pandangan tentang bagaimana memanfaatkan Ramadhan dengan baik dan selalu bersyukur. Semoga di bulan yang penuh berkah ini, kita dan keluarga semakin dekat dengan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Tak lupa, semoga wawancara ini dapat menginspirasi perubahan positif dalam hidup kita.

*artikel ini merupakan hasil wawancara dan ditulis oleh Ary Fitria Nandini dengan Mama Elvina Nur Anita, diedit oleh Inna Ar, dipublikasi oleh NofiaF (Tim Produksi Blog) untuk PhD Mama Indonesia. Mama Elvina Nur Anita bisa dihubungi via DM LinkedIn maupun Instagram @elvinanuranita.

Leave a comment