Setiap tanggal 17 Agustus seluruh Indonesia memperingati hari kemerdekaan. Namun, sudahkah perempuan benar-benar merdeka dan dapatkah perempuan berdaya menjadi diri sendiri? Phd Mama Indonesia menyelenggarakan diskusi via instagram live mengangkat tema “Perempuan Merdeka Tanpa Saling Mencela”. Diskusi ini mengundang beberapa narasumber yaitu, Fitri Oktaviani yang aktif sebagai dosen dan peneliti Departemen Komunikasi Universitas Brawijaya, Indah Laras sarjana psikologi yang juga seorang public speaker, podcaster dan producer IPedia yang juga aktif di Ibu Profesional dan Mifta dengan latar belakang sebagai Psikolog Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah women support women, yang bermakna perempuan dapat membangun solidaritas bersama yang dilandasi oleh empati dan dukungan tulus. Lalu, sudahkah dukungan ini kokoh? Meski kenyataannya perempuan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti patriarki, budaya dan gender. Menjadi perempuan tidak pernah mudah, ditambah lagi adanya anggapan perempuan tidak boleh berkompetisi.
Indah Laras, memaparkan di dunia yang sangat patriarkis untuk perempuan. Para perempuan mau tidak mau dipaksa bersaing dengan perempuan lainnya untuk memperlihatkan keunggulan diri. Selain itu, budaya victim blaming yang sangat besar di Indonesia juga memberikan sumbangsih besar terhadap kerentanan posisi perempuan. Sebagai contoh, anggapan perempuan dilecehkan karena pakaiannya atau perempuan diterima karena kecantikan. Ini membentuk kultur semua perempuan dengan berbagai latar belakang yang pernah mengalaminya. Alih-alih mendukung dan menguatkan, kenyataannya justru menyalahkan suatu kondisi dimana bukan perempuan penyebab masalah utamanya. “Kita terbiasa untuk menyalahkan perempuan, karena budaya ini dirasa paling gampang untuk dilakukan,” tambah Indah.
Dalam komunitas tempat Indah Laras berkiprah, disebutkan bahwa bahkan dalam tataran rumah tangga banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa mereka terjebak dalam suatu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT.) Pahitnya lagi hal yang membuat perempuan sulit untuk keluar dari KDRT adalah karena pandangan sesama perempuan itu sendiri. Misal, adanya pemahaman bahwa perempuan seharusnya menjadi istri yang berbakti atau anggapan bahwa perempuan pantas untuk menerima kekerasan dari suami karena sikap tertentu yang dilakukannya. Belum lagi stigma negatif terhadap perempuan yang bersekolah tinggi masih marak terjadi menyebabkan perempuan enggan untuk meningkatkan kompetensi diri. Faktor agama dan budaya berpengaruh kuat hingga berisiko memadamkan potensi-potensi besar dari para perempuan hebat.
Mifta dengan background psikologinya menjelaskan mengenai konsep internalized misogyny yang menekankan bahwa kebencian antar perempuan bukan sekadar perasaan sesaat, melainkan sikap dan pola pikir yang terbentuk melalui proses belajar. Ia menjelaskan bahwa perempuan tidak tiba-tiba lahir dengan rasa benci kepada sesama perempuan. Sikap itu bisa terbentuk lewat pola asuh yang penuh kekerasan, paparan budaya patriarki, media massa, maupun pengalaman traumatis dalam keluarga. Menurutnya, untuk memutus mata rantai ini, “saklar” yang harus terlebih dahulu dihidupkan adalah awareness, kesadaran bahwa kebencian perempuan terhadap perempuan memang nyata dan seringkali tidak disadari. Dengan kesadaran itu, perilaku sehari-hari pun bisa perlahan berubah mulai dari gaya berkomentar, cara bergaul, hingga bentuk dukungan terhadap sesama perempuan. Menurut Mifta, kunci perubahan ada pada isi kepala, karena sikap mempengaruhi perilaku, dan tanpa mengubah pola pikir, sulit bagi perempuan untuk saling menguatkan alih-alih saling menyakiti.
Dari aspek feminisme, Fitri Oktaviani menguraikan bahwa kebencian antar perempuan tidak bisa dilepaskan dari warisan panjang struktur patriarki dimana perempuan diletakkan pada posisi subordinat selama ratusan tahun. Dari hal-hal kecil seperti aturan makan dalam keluarga, hingga terbatasnya akses perempuan di ruang kerja menempatkan perempuan pada posisi yang tidak mudah. Ketidaksetaraan ini kemudian dilanggengkan melalui budaya, media, pendidikan, bahkan pola asuh, sehingga perempuan tanpa sadar menerimanya. Akibatnya, perempuan sering menjadi “polisi” bagi sesamanya: mencela, memberi label, atau menghukum mereka yang dianggap keluar dari norma gender tradisional. Celaan seperti “ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti anak nggak keurus” merupakan bentuk kekerasan simbolis yang lahir dari internalisasi pandangan bahwa perempuan adalah sumber fitnah atau kesalahan. Menurut Fitri, mekanisme ini tidak hanya terjadi karena rebutan sumber daya, tetapi juga karena ketakutan pada pelanggaran norma dan bahkan rasa iri, yang akhirnya memperkuat siklus saling menyalahkan di antara perempuan sendiri.
Dalam diskusi ini, para narasumber juga mengangkat isu yang kerap tak disadari yaitu kompetisi antar perempuan. Kompetisi merupakan sebuah kewajaran dalam hidup, namun yang seringkali menjadi kabur adalah batas antara kompetisi sehat dengan persaingan yang merusak (rivalry). Disampaikan bahwa “persaingan itu tidak selalu karena kita perempuan. Persaingan ada juga di antara laki-laki, bahkan seringkali lebih keras.” Artinya, stigma bahwa perempuan dengan kodratnya suka saling menjatuhkan perlu dipertanyakan. Permasalahan utama bukanlah pada gender, melainkan pada bentuk persaingan yang menyerang secara personal dan menjelma menjadi bullying.
Bila kompetisi didasarkan pada tujuan yang jelas misalnya target kerja atau pencapaian profesional, ia akan menjadi energi positif. Tetapi saat persaingan beralih ke ranah pribadi seperti merendahkan pilihan hidup, menyebar gosip, atau menyerang identitas yang tidak bisa diubah (gender, agama, etnis), maka persaingan berubah menjadi praktik destruktif. Dampaknya bisa jadi serius misalnya trauma psikologis, kebutuhan terapi, bahkan hilangnya rasa percaya diri perempuan terhadap perempuan lainnya.
Di bagian penutup diskusi, para narasumber menyampaikan pesan mendalam tentang bagaimana membangun solidaritas antar perempuan. Fitri menekankan pentingnya pengetahuan sekaligus empati untuk benar-benar menempatkan diri pada posisi perempuan lain, karena hanya dengan itu women support women bisa terwujud. Mifta kemudian menyampaikan doa agar kepahitan hidup tidak membuat perempuan menjadi pahit dan melukai sesamanya, tetapi justru melembutkan hati untuk memudahkan jalan bagi yang datang setelahnya. Di sisi lain, Indah menambahkan bahwa mendukung perempuan berarti menerima secara sadar dan utuh perbedaan peran serta pilihan hidup tiap perempuan. Amilia kemudian menutup diskusi dengan refleksi bahwa meskipun masalahnya kompleks, langkah kecil tetap bisa dimulai dari diri sendiri dengan harapan memutus rantai saling menyakiti, menumbuhkan empati, serta secara perlahan mendorong perubahan struktural dan kultural yang lebih ramah terhadap perempuan.
Pada akhirnya, perempuan merdeka tanpa saling mencela bukan hanya slogan semata, melainkan sebuah ajakan reflektif. Merdeka berarti bebas dari beban standar orang lain, sekaligus memberi ruang bagi sesama perempuan untuk tumbuh dengan pilihan hidupnya sendiri. Dan seperti yang disampaikan oleh para narasumber, perubahan ini dimulai dari hal paling sederhana, seperti mengendalikan kata-kata dan memilih untuk berempati karena kalau bukan perempuan yang saling menopang, siapa lagi yang akan berdiri bersama perempuan?
Artikel dirangkum dan ditulis oleh Ika Arira dan diedit oleh Shiva Devy untuk PhD Mama Indonesia.
