“There is no end to education. It is not that you read a book, pass an examination, and finish with education. The whole of life, from the moment you are born to the moment you die, is a process of learning.” – Jiddu Krishnamurti
Penggalan kalimat inspiratif di atas merefleksi makna pendidikan sebagai proses hidup yang terus berlangsung dari kegagalan hingga keberhasilan, dari ruang akademik hingga ruang hangat bersama keluarga.

Bagi banyak perempuan, terutama ibu, melanjutkan sekolah jauh dari tanah air adalah bentuk pembelajaran yang menyeluruh mulai dari proses mengenal diri, memperkuat keluarga, dan memberi inspirasi tentang keberanian bertumbuh. Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan studi lanjut dengan membawa keluarga menyeberangi benua untuk mengejar ilmu, meski harus mengorbankan kenyamanan dan menghadapi keterbatasan.
Dari sekian banyak perempuan hebat yang memilih jalan pendidikan tinggi, tersebutlah Dian Nur Ratri, seorang pegawai di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang bersama suami baru saja menyelesaikan S-3 di Belanda. Baginya keluarga adalah prioritas, sehingga boyongan ini diharapkan memberi pengalaman berharga bagi anak-anaknya, serta bersama merasakan kerja keras dan berani mengambil peluang demi kehidupan lebih baik. Sementara itu, di belahan bumi lain, kami berdiskusi dengan Malinda Sari Sembiring, seorang dosen di Universitas Sumatra Utara yang sedang menempuh studi doktoral di The University of Auckland. Malinda datang bersama suami dan anaknya.
Apa yang meyakinkan mereka menempuh jalan berliku bersama keluarga? Meningkatkan kapasitas keilmuan dan membangun jejaring global karena budaya riset yang terbuka adalah alasan yang acap kali disampaikan. Selain itu, tanggung jawab profesi juga turut andil dibalik keputusan melanjutkan studi. “Saya percaya, dosen adalah jembatan antara mahasiswa dan pengetahuan. Di sini saya ingin menjadi jembatan pengalaman internasional dalam rangka menghadirkan suasana dan kualitas pembelajaran yang lebih kaya untuk para mahasiswa,” ucap Malinda kepada tim blog PhD Mama Indonesia.

Dibalik dorongan melanjutkan studi tersebut, bagi Malinda dan Dian ada keputusan yang tentunya tidak bisa ditawar, yaitu memboyong keluarga. Dian menyampaikan, “Bagi saya pilihannya hanya dua: berangkat bersama atau tidak berangkat sama sekali. Anak-anak adalah sumber energi saya dalam menjalani setiap langkah pendidikan ini.” Menurutnya, menjadi seorang ibu dengan status mahasiswa doktoral semestinya bisa berjalan selaras dan beriringan, jika bisa memilih keduanya mengapa harus meninggalkan salah satunya.
Tentunya, keputusan melanjutkan studi di luar negeri bersama keluarga lahir dari keputusan dan kesepakatan bersama. Partisipasi aktif keluarga sudah dimulai saat merencanakan studi dan terlebih saat persiapan keberangkatan. Bagi Malinda mendatangkan suami ke Selandia Baru adalah tantangan besar, salah satunya mengurus visa, “Pemerintah Selandia Baru ingin memastikan bahwa keluarga yang datang harus memiliki hubungan yang sah dan nyata (genuine relationship). Mereka tidak hanya meminta dokumen formal, tetapi juga bukti pendukung, seperti cerita awal perkenalan, bukti tinggal bersama, riwayat percakapan WhatsApp, hingga bukti pengiriman paket dengan nama masing-masing ke alamat yang sama.” Cerita Dian juga tidak kalah menarik. Datang bersama tiga anak tanpa jasa childcare membutuhkan tenaga tidak biasa. Namun, dengan dukungan moral komunitas pelajar Indonesia di Wageningen, ia bisa menjalani peran sebagai ibu sekaligus mahasiswa S-3 dengan lebih seimbang.
Keteguhan hati dalam menyeimbangkan peran di negeri orang
Peran sebagai mahasiswa doktoral, ibu, dan istri tentu membutuhkan strategi khusus, namun tidak dengan Malinda. “Saya tidak membagi waktu secara sistematis, tidak selalu berhasil menentukan skala prioritas. Pekerjaan rumah, riset, dan emosi sering kali tumpang tindih,” katanya. Namun, keberhasilannya untuk tetap bertahan hingga kini adalah sebuah pencapaian yang patut dirayakan. Ia menanamkan disiplin dan kesadaran penuh dengan membedakan kebutuhan dan keinginan, serta terus mengingat bahwa seorang perempuan berhak mengejar mimpi tanpa kehilangan jati diri. Bagi Malinda, menjaga kebahagiaan pribadi bukanlah bentuk egoisme, melainkan pondasi untuk mencintai dengan sepenuhnya.
Dian pun berbagi kisah perjuangannya menjalani peran ganda di Belanda. Tinggal di Wageningen dan harus berkantor di Utrecht setiap hari bukan perkara mudah. “Kami memilih tinggal di Wageningen karena afiliasi studi dan pertimbangan finansial. Tapi jarak itu jadi tantangan tersendiri,” ujarnya. Strategi andalannya adalah menghadirkan diri sepenuhnya untuk keluarga di luar jam kerja. Ada masa-masa berat ketika beban riset bertabrakan dengan dinamika rumah tangga, bahkan nyaris menyerah, namun Dian terus bertahan berkat dukungan dari keluarga, teman, hingga promotor. “Perjalanan ini bukan hanya perjuangan saya sendiri, tapi juga perjuangan bersama orang-orang yang terus menguatkan dan mendoakan,” tuturnya.

Menemukan pencapaian sejati: Keluarga sebagai pondasi di tengah tantangan studi
Pencapaian terbesar apa yang dirasakan selama ini? Malinda menceritakan tentang keberhasilannya melewati tahap confirmation review. “Di balik pencapaian ini ada tekanan riset, kelelahan emosional, dan tanggung jawab domestik yang terus berjalan.” Ia menyadari bahwa keberhasilan tak selalu harus tampil di media sosial atau dinilai lewat validasi eksternal. Kesadaran ini memberinya ketenangan batin, membebaskannya dari ekspektasi sosial, dan membawanya lebih dekat pada diri sendiri dan keluarga serta tujuan hidup yang lebih besar dari sekadar gelar.
Dian di sisi lain menegaskan bahwa pencapaian terbesarnya bukan hanya tentang kelulusan atau hasil riset, melainkan kemampuan menjaga keutuhan keluarganya selama masa studi di Belanda. “Mempertahankan keluarga tetap satu atap selama masa studi, bagi saya adalah pencapaian tersendiri, karena anggota keluarga bisa tetap bersama, tumbuh, dan saling menjaga di tengah banyak keterbatasan dan tantangan.” tuturnya. Kebahagiaan terbesar Dian bukanlah pengakuan akademik, tapi melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, adaptif, dan tetap punya rasa ingin tahu dalam menghadapi dunia baru. Di tengah sunyinya jalan perjuangan yang ditempuh, tumbuh sebuah keluarga yang saling mendukung.
Refleksi dan pesan inspirasi para Ibu hebat pejuang mimpi
Dalam pesannya kepada para Ibu yang berjuang dengan mimpinya tanpa harus menanggalkan peran istri dan ibu, Malinda mengingatkan bahwa pendanaan adalah fondasi utama dalam studi luar negeri, apalagi ketika memboyong keluarga. Tanpa persiapan finansial yang matang, mimpi bisa jadi beban yang sangat berat. “Jangan sampai narasi indah di media sosial menutupi realita logistik dan biaya hidup yang besar,” tegasnya.
Sementara itu, bagi Dian, keluarga adalah prioritas utama, dan keputusan membawa mereka saat studi adalah prinsip yang teguh dipegang. Ia menekankan pentingnya komunikasi terbuka, saling dukung, dan membangun jaringan bantuan. “Jangan ragu untuk membuka diri dan meminta tolong. Terkadang kekuatan justru datang dari keberanian untuk membuka diri, meminta tolong, dan membangun jaringan dukungan.” ungkapnya. Menurutnya, membawa keluarga justru bisa menjadi sumber energi dan semangat terbesar.
Pada akhirnya dari penuturan Malinda dan Dian mengingatkan kita pada hak seorang ibu untuk mengejar dan merayakan mimpinya. Dian memberikan inspirasi bahwa mimpi itu bukanlah sesuatu yang harus ditunda, tetapi bisa diwujudkan dengan cara yang berbeda. Selama ada niat yang kuat, dukungan keluarga, dan keyakinan bahwa semua ini bisa dijalani, mimpi akan tercapai. Dari Malinda kita belajar bahwa perempuan tidak boleh melupakan diri sendiri di tengah peran yang dijalani. Perempuan harus jujur akan kapasitas dan kondisi, serta memahami dengan baik bahwa mewujudkan mimpi butuh disiplin, daya tahan, dan keberanian menghadapi konsekuensi. Catatan ini kiranya dapat menjadi penguat kita, para ibu yang akan, sedang dan terus berjuang untuk mimpi-mimpinya tanpa harus menanggalkan multi peran menjadi pasangan hidup dan madrasah utama bagi generasi bangsa di masa depan.
Ditulis oleh Ika Arira dan diedit oleh Inna Ar untuk PhD Mama Indonesia dalam rangka peringatan Hari Keluarga Internasional. Malinda dan Dian dapat dihubungi masing-masing melalui instagram di @mssembiring_ dan @lotta_lova.
