Halo PhD mama dimanapun berada, salam sehat semua! Salam kenal nama saya Riesma Andiani, saat ini sedang menempuh PhD di Hawkesbury Institute for The Environment, Western Sydney University, Australia.
Setiap perjalanan dalam hidup yang sedang kita jalani, kita akan menemukan makna yang dapat menjadi pelajaran berharga untuk diri sendiri. Seperti saat menempuh studi PhD ini. Konon katanya, kecerdasan ibu akan menurun kepada anaknya. Tapi masa iya, kecerdasan yang didapat melalui jenjang pendidikan bisa diturunkan ke anak? Well, saya bukan ahli di bidang medis, jadi saya tidak bisa menjawab pertanyaan tertentu (tanpa Googling dulu, hehe) Lalu apa dong yang membuat Ph.D. di luar negeri menjadi bekal saya untuk kelak menjadi ibu di masa depan?

Tentang Selesai Dengan Diri Sendiri
Merantau sendirian ke luar negeri memang bukan hal sederhana. Terdengar seru, tapi kenyataanya tidak sesederhana memasukkan barang-barang ke dalam dua koper besar, lalu naik ke pesawat, dan voila, hidup baru dimulai. Sayangnya, tidak semudah itu.
Perlu waktu untuk adjusting and adapting, baik dengan culture baru, rutinitas baru, atau bahkan mindset baru. Sejauh ini yang saya rasakan adalah kebanyakan decision sehari-hari akan berdampak specifically pada diri sendiri. Masa-masa ini saya benar-benar belajar untuk menjadikan diri sendiri sebagai main character dalam hidup dan mempertimbangkan apapun berdasarkan diri sendiri, seperti apa yang saya mau, apa yang saya harapkan, apa yang saya mampu lakukan, apa yang saya mampu pertaruhkan, dan banyak hal lainnya. Sekarang semuanya berdasarkan refleksi terhadap diri sendiri, egosentris. Menantang memang, tapi ini juga membahagiakan karena nantinya mungkin akan ada masa-masa saya harus menempatkan kepentingan orang lain dibanding pribadi. Saat nantinya jadi ibu, contohnya, tentu anak menjadi prioritas utama, kan?
Ini juga menjadi kesempatan untuk meraih hal-hal besar yang saya rasa dengan kapasitas dan skillset saya, akan lebih feasible untuk diraih dalam kondisi masih sendiri. Contohnya, meraih gelar Ph.D ini, ikut beragam kegiatan kemahasiswaan (saya pribadi bergabung di music club yang rutin punya weekly jamming session di malam hari), menjadi volunteer events, dan masih banyak lagi.

Tentang Mengenal Diri
Di luar negeri mental health awareness sangat tinggi, sehingga bantuan terkait kondisi psikologi juga sangat mudah didapatkan. Menjalani Ph.D. journey yang penuh dengan ups and downs membuat saya mengalami beberapa masa mental instability. Yang paling sering tentunya procrastination, dimana saya benar-benar merasa “I can’t seem to operate”, hanya ingin sembunyi di bawah selimut seharian. Kondisi ini sangat merugikan karena tentunya penelitian saya harus berprogress. Ditambah lagi saya punya frekuensi meeting dengan supervisor cukup intens, yaitu dua kali dalam seminggu. Maka jadilah saya mencoba mulai melakukan konseling dengan fasilitator yang tersedia di kampus. Tidak hanya mengulik betapa lelahnya saya, tapi sesi-sesi konseling kami juga berhasil menggali trauma masa lalu dan dampaknya yang ternyata signifikan bagi self esteem saya saat ini. Selama ini saya tidak pernah aware dengan luka-luka tersebut, tapi sekarang saya dalam proses sembuh. Saya percaya hal ini sangat penting karena mumpung masih single, ini membantu saya untuk feel content, kenal dengan diri sendiri, dan saya yakin ini adalah bekal yang lebih baik untuk pilih pasangan yang tepat. Saya tidak akan merasa insecure dengan segenap masalah dan kekurangan saya yang kemudian bisa saja membuat saya menurunkan standar. Jangan ya dek ya,karena dia akan jadi calon ayah untuk anak-anak kelak, jangan sampai nego-nego standar!

Tentang Melatih Adaptasi dan Toleransi
Berkesempatan kuliah di Sydney, Australia membuat saya terpapar budaya yang sangat diverse. Dampaknya, mau tidak mau saya jadi pribadi yang lebih adaptif dan toleran. Tidak lagi kaget dengan hal-hal berbau kebarat-baratan yang anak kekinian banyak adopt. Saya lalu membayangkan, budaya-budaya ini mungkin punya kans untuk menjadi keseharian anak saya di masa depan, satu sampai dua dekade dari sekarang. Saya merasa saat ini jadi bisa belajar untuk mengolah pikir dan merespons hal-hal ini. Saya sudah menyiapkan filter diri terhadap budaya yang beragam ini, mana yang saya bisa internalisasi, mana yang hanya akan numpang lewat untuk saya senyumi.

Tentang Wawasan Luas
Banyak wawasan non akademik yang juga saya dapatkan selama menjalani Ph.D. journey lewat banyaknya interaksi dan observasi. Sebagai orang yang selalu suka mendengar cerita petualangan orang lain dan mengambil cerita tersebut sebagai inspirasi, saya harap nantinya pengalaman saya ini tipis-tipis juga bisa menjadi bekal hidup buat anak saya. Bukan cerita heroik memang, tapi kelak dia perlu tau kalau banyak hal diperjuangkan oleh ibunya di tengah norma sosial yang tidak sejalan dengan keputusannya, dan semua itu adalah bagian dari mempersiapkan masa depannya.

Saya merasa Ph.D. ini adalah perjuangan yang tidak mudah. Menjalaninya dengan kondisi saya saat ini yang masih single adalah keputusan terbaik agar dapat berkonsentrasi maksimal dan banyak belajar terlebih dulu untuk mengupgrade diri. Tentu saya sangat salut dengan para ibu yang juga menjalani Ph.D. journey, pastinya Tuhan karuniakan superpower bagi para Ph.D. moms. Namun, bagi saya pribadi, dengan skillset saya saat ini, perjalanan dan usaha meraih Ph.D. ini adalah hadiah buat diri sendiri sebelum nantinya saya bisa menjadikannya hadiah buat anak saya.
Ditulis oleh Riesma Andiani, Edit Laksita Gama Rukmana untuk Phd Mama Indonesia.
