Kisah PhD Mama, Fadilah Ilahi: Cerita Seru Studi di Manchester Bersama Anak-anak

Kali ini tim PhDMamaIndonesia, berkesempatan untuk mewawancarai narasumber yang sedang menempuh studi S3 Mathematics di the University of Manchester, UK, Fadilah Ilahi. Kisah PhD Journey dari wanita yang akrab disapa Ila ini sangat unik, karena ia berani memutuskan untuk berangkat studi hanya ditemani oleh dua orang anak tanpa sang suami.

“Karena saya ingin memberikan good memories to them saat mereka dewasa nanti, saya ajak saja keduanya. Apalagi anak saya dua – duanya perempuan juga, harapannya mereka bisa termotivasi untuk berani bermimpi setinggi – tingginya, dengan melihat secara langsung apa yang ibunya kerjakan disini (kuliah S3).”, ujarnya mengawali cerita.

Selain itu, tambahnya, suami juga percaya dan sangat mendukung keputusan wanita kelahiran Bandung ini, untuk tetap dekat dengan sang buah hati sembari menyelesaikan studinya tersebut. “karena suami masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di Indonesia, namun ketika libur, dia menyempatkan untuk menengok kami ke sini”, tambahnya. Ila dan suami sama – sama berprofesi sebagai dosen, Ila mengajar di UIN Bandung sedangkan suami di Universitas Islam Bandung (UNISBA), sehingga studi lanjut S3 adalah salah satu kewajiban untuk profesi ini.

Seperti yang kita ketahui bahwa perjalanan studi S3 setiap orang itu berbeda, pun Ila sendiri juga demikian. Ia menyatakan bahwa University of Manchester (UoM) ini sebenarnya bukan tujuan utamanya kala mendaftar Beasiswa LPDP jalur non-LoA beberapa tahun silam. Justru Ia menginginkan studi lanjut di the University of Warwick. Namun saat mengirim proposal riset ke beberapa calon supervisor (spv), justru yang merespon pertama kali dengan cepat adalah supervisor-nya saat ini di UoM, Prof. Thomas House.

“Namanya juga rezeki ya, saya ngirim proposal ke calon spv di UoM pagi, siang hari saya sudah menerima balasan e-mail saya dengan balasan bahwa beliau mau menerima saya sebagai mahasiswa bimbingannya”, ujarnya. Selain di UoM, Ila juga mendapatkan calon supervisor di University of Queensland (UQ), Australia dan University of Exeter, UK. Namun, setelah mempertimbangkan kecocokan topik riset dengan keahlian para supervisor dan lingkungan untuk anak-anak, akhirnya Ila memilih melanjutkan studinya di UoM.

“Spv saya itu fokus risetnya terkait aplikasi matematika untuk preventif dan control terhadap epidemiologi, khususnya Covid-19. Sedangkan fokus saya di Demam Berdarah (DB),” jelasnya. Menurut spv, tambahnya, riset terkait epidemic DB ini sangat menarik karena di UK tidak ada penyakit DB. Harapannya, hasil riset pemodelan matematika yang saat ini dikerjakannya mampu dan bisa di aplikasikan secara langsung untuk Indonesia.

“Meskipun spv saya ini cukup demanding, karena working style beliau adalah weekly meeting, ini rasanya cukup melelahkan,” ujarnya. Namun, dibalik itu semua, beliau tetap menyarankan Ila memiliki work life balance.  Ila juga menceritakan bahwa dirinya pernah ditegur karena tetap mengerjakan riset di hari Sabtu dan Minggu. Dari situlah, Ia menyadari bahwa dibalik target – target riset yang harus dicapai tiap minggunya, ternyata spv tetap menginginkan kita memiliki aktivitas lain yang dikerjakan di akhir pekan. Hal yang sangat disyukurinya bertemu dengan spv yang supportive seperti beliau.

 “Oleh karena itulah, saya nggak pernah sekalipun menjadikan anak sebagai alasan untuk melewatkan weekly meeting dengan spv.”, tambahnya. Ila ingin menunjukkan keseriusannya belajar tanpa menjadikan keluarga sebagai beban dalam studi. Justru kehadiran anak – anak menemaninya studi itu sebagai support system terbaik untuknya. Bahkan ketika anak kedua sakit sekalipun, Ila memilih untuk menitipkan sang anak selama lebih kurang 2 jam kepada teman sesama orang Indonesia, agar Ia bisa ke kampus dan tidak melewatkan weekly meeting dengan spv.

Saat ada agenda conference di Spanyol selama seminggu, Ila mengaku 3 bulan sebelum berangkat, dirinya sudah harus menghubungi temannya sesama orang Indonesia untuk booking jadwal agar bisa menitipkan dan menjaga kedua anaknya. “Tentu saya siapin semuanya dulu dalam satu koper berisikan makanan, cemilan, baju ganti, mainan dan lain sebagainya untuk meringankan beban teman saya tadi.” tuturnya.

Ila bercerita bahwa aktif mengikuti komunitas di luar aktivitas riset sehari – hari itu sangat penting untuk menambah pertemanan, networking, serta persaudaraan. “Kalau saya nggak ikut Karisma (nama grup pengajian) saya tidak mungkin kenal dengan ibu – ibu yang sangat baik hati dan banyak membantu saya di sini (Manchester).” ungkapnya.

TENTANG ANAK

Tentu bukan hidup namanya jika tanpa drama. Saat mencari sekolah anak saat studi S3, Ila justru mendapati berbagai macam tantangan.  Diantaranya yang pertama adalah pemilihan sekolah si teteh (sebutan anak pertamanya). Kali pertama tiba di Manchester, Ila dan keluarga tidak langsung mendapatkan akomodasi tetap, melainkan tinggal di sublet (rumah sewa) terlebih dahulu. Ia izin ke supervisor, untuk diberi keringanan dengan mengurangi target mingguan dari supervisor saat bimbingan, diawal masa perkuliahannya. Bahkan dirinya harus belajar lagi dari basic knowledge statistika dengan cara aktif diskusi dengan teman terutama orang Indonesia. “Harus banyak baca dan banyak doa aja sih agar sama Allah diberi kemudahan.” ceritanya.

Saat mendapatkan tempat tinggal tetap, Ila segera mendaftarkan kedua anaknya sekolah melalui city council berdasarkan zona tempat tinggal tersebut. Ia pun memutuskan untuk mendaftar di 3 sekolah sekaligus. “Katakanlah saya mendaftar di sekolah A, B, dan C. Sekolah A itu paling dekat dari rumah, hanya 5 menit jalan kaki. Namun ternyata yang merespon duluan sekolah C, dimana jarak tempuhnya sekitar 20 menit jalan kaki dari rumah. Setelah 2 bulan si teteh belajar di sekolah C, sekolah A lalu merespon. Dilema banget itu saya. Tapi karena si teteh sudah enjoy dan sudah punya teman dekat di sekolah C, yasudah akhirnya tidak jadi ambil yang sekolah A.” ujarnya mengisahkan perihal sekolah sang anak.

Lain lagi ceritanya dengan sekolah si dede (sebutan anak keduanya). Karena di Bandung belum pernah sekolah formal sama sekali, namun di UK secara usia si dede harus masuk di level SD. “Ya akhirnya si dede saat ini sudah SD. Tapi dikelas ada small group (seperti intensive) untuk mendampingi adik dalam beradaptasi di kelas.” tambahnya. Ia pun lega karena dia tetap senang pergi ke sekolah walaupun yang dia pelajari levelnya sudah pelajaran SD.

 Ila juga sangat terkesan dengan perkembangan kedua anaknya dengan ‘mencicipi’ pendidikan formal di Inggris. Bahkan dirinya sangat terkesan dengan perkembangan si teteh khususnya di subject English Literature, “si teteh ini kan sukanya math dan art, dia tidak suka hafalan. Jadi saya kaget banget, ketika dia (si teteh) sudah tamat baca novel Harry Potter seri 1.” ungkapnya bangga.

Meskipun diawal kedatangan, si teteh sempat sedih karena berpisah dengan bestie-nya, “saya izinkan dia untuk video call dengan teman – temannya di Indonesia saat weekend, sehingga dia masih punya teman – teman yang bisa dia reach out saat wktunya nanti pulang ke Indonesia.” ungkapnya.

TIPS & TRICKS

Kunci dari suksesnya studi PhD bagi ibu – ibu adalah time management. Ila mengungkapkan kalau tidak pandai mengatur waktu biasanya akan keteteran. Dirinya pun menyiasatinya dengan selalu membuat meal preparation untuk 3 hari kedepan. Jam tidur anak – anak juga harus dibiasakan disiplin, yakni jam 21.00 sudah harus tidur. Karena ketika kedua anaknya tidur, Ia akan memanfaatkan waktu tersebut untuk membuka laptop meskipun hanya baca – baca artikel ilmiah.

Diakhir sesi perbincangan, Ila tak lupa memberikan closing statement berupa sepenggal kata motivasi penyemangat untuk para mama yang tengah melanjutkan studi. You were meant to be here, embrace every moment, give your best, and let Allah do the rest.

*Artikel ditulis oleh Aini Khadijah dari hasil wawancara langsung dengan Fadilah Ilahi, dan diedit oleh Laksita GR untuk PhD Mama Indonesia. Kak Ila boleh dihubungi via Instagram @i_fadilah atau email fadilah.ilahi@doctrineuk.org 

Leave a comment