PhD Mama Evi: endometriosis, disertasi dan buah hati

Beberapa teman bilang, perjalanan meraih PhD adalah ujian tersendiri dalam kehidupan. Bagaimana pengalaman Evi?

Hmm.. ya saya rasa ada benarnya. Diluar beban studi, ujian saya barangkali terkait pengalaman dengan endometriosis ya. Kondisi saya ini meninggalkan beban psikologis yang bener-bener sesuatu.. terutama setelah saya menjalani prosedur laparoscopy. Apalagi kita sedang berusaha menyelesaikan studi.

Saya ingat waktu itu menangis hebat karena kepikiran ada dua tulisan yang harus saya selesaikan diakhir bulan. They are major. Saya marah dan kalut karena saya menjadi lemah dan menyerah pada sakit. Marah karena merasa laparoscopy yang saya jalani tidak banyak membantu. Padahal mungkin saja ini adalah efek samping operasi yang pernah disinggung oleh dokter sebelum saya menjalani laparoscopy. Kecemasan juga sepertinya meningkatkan intensitas rasa sakit saya.

Bagaimana cerita awalnya kok bisa menjalani laparoscopy?

Jadi ceritanya, beberapa waktu yang lalu, setelah melalui proses yang cukup panjang, saya akhirnya mendapat kejelasan untuk beragam hal yang saya alami dari mulai sakit ketika menstruasi dan ovulasi, dyspareunia, fatigue, diare, sakit punggung, dan pada dasarnya 12 tahun kondisi infertilitas saya. Intinya, kondisi saya ini disebut sebagai endometriosis. Secara medis ini didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh tumbuhnya jaringan endometrium di luar rongga rahim.

Apa itu jaringan endometrium? Jaringan endometrium adalah jaringan yang melapisi rongga rahim. Dia bisa tumbuh menebal dan jika tidak terjadi kehamilan dia akan berkontraksi dan meluruh menjadi darah menstruasi. Jika jaringan ini tumbuh di luar rongga rahim, dia disebut endometriosis. Karena sifatnya yang bisa tumbuh, menebal, dan meluruh, jaringan endometriosis yang di luar rahim ini dapat menyebabkan rasa sakit yang amat sangat.

Apa penyebabnya?

Belum ada studi yang konklusif mengenai penyebab endometriosis. Yang paling sering dikatakan adalah bahwa ada darah haid yang tumpah ke rongga perut dan akhirnya menempel dan tumbuh di organ yang berada di rongga perut, di luar rahim. Ini masih bersifat dugaan. Apakah ini berkaitan dengan hormon? Ya dan tidak. Ya karena memang pertumbuhan sel endometrium kan dipengaruhi oleh hormone estrogen. Tapi bukan karena kebanyakan estrogen kemudian menyebabkan endometriosis.

Makanya jika ditanya apakah ada diet khusus yang harus dilakukan agar endometriosis tidak tumbuh. Jawaban dokter (setidaknya di Australia) hampir selalu “Tidak ada.” Pola makan sehat itu penting untuk kesehatan. Tidak hanya untuk menghindari endometriosis.

Bagaimana mendeteksi endometriosis?

Sampai saat ini, satu-satunya metode yang akurat hanya melalui laparoscopy atau key-hole surgery. Jaringan endometriosis tidak bisa dideteksi melalui USG baik external atau intravaginal. Hanya ada beberapa dokter yang sangat ahli yang bisa dan berani mengambil keputusan diagnosa melalui intravaginal ultrasound.

Di Canberra, misalnya hanya ada satu dokter spesialis yang melakukannya. Karena ini butuh ketelitian tingkat tinggi. Biasanya deteksi dilakukan melalui personal health history. Misalnya mengukur derajat sakit (relative), waktu terjadinya sakit, dimana letak sakitnya, apakah sakitnya tajam atau tumpul, apakah mengalami diare, apakah mengalami gangguan fertilitas, dll.

Bagaimana mengobatinya?

Sayangnya sampai saat ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan endometriosis. Yang ada adalah manajemen rasa sakit melalui obat penghilang rasa sakit, atau supresi estrogen.

Pada beberapa perempuan terapi supresi estrogen ini bisa berdampak pada regularitas menstruasi; pada intinya hormon estrogen yang bertanggung jawab pada tumbuhnya jaringan endometrium ditekan sehingga tidak tumbuh, tidak meluruh, tidak berkontraksi. Hormon estrogen juga bertanggung jawab terhadap matangnya sel telur. Jika ditekan, sel telur tidak akan matang sehingga tidak akan terjadi ovulasi. Dengan begitu, sakit pas menstruasi dan ovulasi bisa ditekan. Atau prosedur yang invasive dengan laparoscopy atau key-hole surgery.

Kalau pengalaman saya sendiri, cerita saya dengan endometriosis diawali sakit ketika menstruasi yang saya rasakan sejak usia belasan. Orangtua saya saat itu merasa itu normal-normal saja. Saya tidak pernah mengalami pendarahan berlebihan atau sampai pingsan ketika mens. Tapi sejak saat itu saya mulai bersahabat dengan obat penghilang rasa sakit kala haid.

Ketika saya mulai sexually active setelah menikah di umur 23 tahun, saya mulai merasakan ada perubahan. Pada masa subur, saya mengalami pendarahan. Meskipun tidak sebanyak darah menstruasi, tapi pendarahan itu membuat saya panik. Saya berkonsultasi pada seorang praktisi kesehatan dan saya ingat dia mengatakan saya tidak perlu khawatir karena itu masih dalam batas normal.

Tapi, dibalik sikap menganggap normal sakit menstruasi justru menutup informasi bahwa ada kemungkinan terburuk dari kondisi medis ini. Saya tidak mendapatkan informasi yang utuh yang menjadi hak saya sebagai pasien, dan pada level tertentu menjadi sebuah bio-power yang akhirnya berpengaruh pada cara saya melihat diri saya. Saya menjadi malu mengeluh tentang sesuatu yang dianggap normal. Saya malu terlihat lemah dan manja hanya karena sakit yang sudah semestinya saya terima saja. Apalagi kalau menghadapi komentar, “Perempuan lain juga sakit kalau mens, tapi nggak gitu-gitu amat kayak kamu.”

Apakah ini terkait juga dengan perjuangan mendapatkan buah hati?

Awalnya saya merasa tidak terkait. Tapi ketika pernikahan kami sudah berusia lima tahun, saya masih tetap memiliki mild ovulation pain dan occasional ovulation bleeding. Plus sakit pada saat menstruasi yang menurut saya semakin parah. Waktu itu kami sudah berada di Melbourne. Dan saya belum pernah hamil sama sekali. Saya akhirnya memberanikan ke dokter dengan alasan sakit mens yang tidak tertahankan. Dokter saya tidak bisa tidak menghubungkan sakit itu dengan infertilitas saya.

Kemudian saya menjalani serangkaian tes. Tes darah, xray tuba fallopi (HSG), USG external dan intravaginal. Suami saya juga menjalani tes (yang ini ga ada urusan dengan endometriosis ya…). Semua tes itu bertujuan untuk mengetahui penyebab rasa sakit dan juga infertilitas kami. Siklus menstruasi saya tergolong ajeg dan normal. Yang ga normal sakitnya dan ovulasinya. Dokter spesialis di Women’s Hospital yang ahli fertilitas hampir yakin saya memiliki endometriosis karena tidak ada keanehan dari hasil tes. Kadang meskipun mild, dia tetap bisa mengakibatkan rasa sakit yang hebat dan menyebabkan infertilitas.

Waktu itu, akhir 2008 dan saya disarankan untuk laparoscopy untuk diagnosa lebih lanjut. Saya tidak melakukannya. Pada dasarnya, saya tidak terima saja kenapa penyakitnya kok ga bisa dideteksi bahkan via intravaginal USG. Apalagi menjalani operasi hanya untuk diagnose itu menurut saya lebih tidak masuk akal lagi. Akhirnya dengan alasan saya harus segera pulang ke Malang, saya opted out dari daftar tunggu operasi di Melbourne.

Kami kembali ke Malang di akhir tahun 2008. Setelah begitu lelahnya settling back in dan masih repot-repotnya menyiapkan tempat tinggal, Januari 2009 saya dinyatakan hamil. Ga usah ditanya.. bahagia tak terkira… saya langsung lupa dengan segala penyakit itu dan mulai membayangkan persiapan untuk memiliki anak. Sama sekali tidak ada kecurigaan atau ketakutan.

Ternyata pada minggu ke-tujuh kehamilan saya mulai bermasalah. Kantong janinnya berkembang tapi janinnya tidak. Sampai akhirnya saya kontraksi dan pendarahan hebat pada minggu ke-sembilan. Pada saat itu, kami mengambil keputusan yang sangat berat yaitu curette karena janinnya sudah tidak lagi berkembang dan lepas dari dinding rahim. Kami kehilangan jabang bayi yang kami beri nama Sora (Bahasa Jepang yang artinya langit). Saya cukup tertekan dengan kehilangan itu.

Bagaimana reaksi suami kala itu?

Alhamdulillah suami saya adalah orang yang hebat dan punya stok sabar tak terbatas (untuk urusan dengan saya ya… hehehe). Dia selalu menguatkan. Maybe we would be lucky next time. Sejak menjalani curette, sakit menstruasi saya berkurang, tapi sakit ovulasi saya bertambah. Itu bukan sebab akibat ya.. itu hanya penanda waktu.

Sempat mencari diagnosa lain?

Ya, saya pindah dokter kandungan. Ketika saya konsultasi, jawaban beliau adalah nyeri ovulasi itu biasa dan bisa jadi karena sakit lambung saya sehingga menyebabkannya lebih sakit. Saya memang memiliki sakit lambung yang kambuhan. Jadi lagi-lagi keluhan saya dianggap “Normal” bahkan tidak ada saran misalnya jika saya mau pemeriksaan lebih lanjut atau semacamnya. Sakit itu terus saya alami. Tapi ya gimana lagi. I said to myself to suck it up. Ga ada hal yang bisa dilakukan juga.

10360445_10207037859564679_4545216935982017785_n
Bersama kawan hidup saya yang sabarnya luar biasa

Dukungan orang-orang di sekitar bagaimana?

Terus terang karena ketiadaan informasi, banyak yang menganggap saya mengeluhkan hal yang biasa-biasa saja. Pernah saya ngobrol dengan seorang teman yang jauh lebih senior tentang hal ini. Tanggapannya, “Kan enak ada penanda ovulasi, jadi kamu bisa merencanakan keluarga.” Trust me, dengan sakit pada masa ovulasi, merencanakan keluarga adalah hal terakhir yang ingin Anda lakukan.

Disaat yang sama, pertanyaan dan saran-saran tentang reproduksi mulai datang bertubi-tubi tanpa diundang… ya iyalah ya… Dari yang bernada joke sampai serius. Saya mulai males dengan pertanyaan, “Kapan nih mau bikin Kriwul Junior?” atau suami saya yang ditanya temannya, “Lho.. kok durung duwe anak? Tak uruk i a?” Kami hanya bisa tersenyum dan berterimakasih terhadap perhatian itu meskipun pada dasarnya kami pengen nonjok.

Ada juga yang memberi saran pengobatan alternatif atau bahkan orang tua yang menyodorkan berbagai ramuan kepada saya. Saya juga pernah diberikan secarik majalah dakwah oleh seorang teman yang menyarankan saya meminta maaf kepada Ibu saya karena infertilitas ini bisa jadi adalah buah kekurangajaran saya kepada orang tua. Orang lain mempercayai bahwa saya kena tulahnya mantan pacar suami yang menyumbat saluran telur saya, dan lain-lain.

Tekanan sosial terasa semakin berat karena saya memang saat itu tidak memiliki jawaban atas kondisi saya. Saya tidak bisa bilang itu endometriosis karena memang belum ada diagnosa yang meyakinkan bahwa saya memang menderita itu.

Sampai akhirnya 2013 kami pindah ke Canberra. Karena umur yang sudah mendekati 35, batas psikologis dan biologis saya untuk memikirkan rencana memiliki anak. Saya mulai rajin mencatat hal-hal terkait kesehatan reproduksi saya. Saya merasa sakit ovulasi saya juga makin meningkat, disertai dengan dyspareunia. Rasa sakit ini bisa bertahan 2-3 hari disekitar menstruasi dan ovulasi.

Saya ke dokter dan dirujuk ke seorang spesialis di awal 2014. Dokter umum yang selalu menangani saya mengatakan hal yang persis sama dengan dokter umum di Melbourne waktu itu. Ini pasti ada hubungannya antara chronic fatigue, sakit pada masa menstruasi dan ovulasi, dan infertilitas. Sekali lagi saya dan suami menjalani tes infertilitas. Mengulang lagi proses yang pernah kami alami sekitar enam tahun lalu. Lagi-lagi tidak ditemukan sebab yang jelas, selain dugaan ada endometriosis. Saya juga mulai mencari tahu tentang endometriosis dan mengunjungi klinik endometriosis di Canberra Hospital.

Apa kesimpulan dokter?

Setelah triangulasi kepada dua dokter spesialis kandungan dan kebidanan, salah satunya memang ahli tentang endometriosis, dugaan semakin menguat. Dokter memberi saya pilihan untuk melakukan tindakan operasi atau menekan estrogen dengan pil KB. Karena saya dan suami juga ingin lebih serius untuk program kehamilan dan mepet usia ya, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil pilihan operasi. Ternyata memutuskan itu juga tidak mudah karena once again, laparoscopy itu tujuan utamanya adalah diagnosis.

Saya bilang ke suami saya, “Semacam ga masuk akal ya, untuk diagnosa saja aku harus dioperasi. Nanti kalau ga ketemu sakitnya, operasi itu percuma donk.” Ya itu juga sebagian karena biaya operasi saya tidak sepenuhnya ditanggung oleh asuransi. Dan mondar mandir ke spesialis serta menjalankan berbagai tes sudah cukup membuat kantong kami kedodoran. Selain juga efek fear of the unknown. Saya akhirnya masuk dalam daftar tunggu. Kalau di Canberra, dan Australia pada umumnya, elective surgery di rumah sakit umum harus masuk waiting list dulu. Bisa berbulan-bulan.

Selama menunggu saya bertanya dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang endometriosis dan laparoscopy. Yang saya tahu, laparoscopy tidak menyembuhkan endometriosis, tapi bisa meringankan karena jaringan endometrium itu disayat. Apakah laparoscopy termasuk operasi besar? Tidak, tapi efeknya tidak boleh diremehkan.

Menurut informasi yang saya dapat, pasien hanya perlu day-admission atau tidak perlu menginap untuk operasi ini. Kemudian, rata-rata perempuan perlu satu atau dua minggu istirahat total setelah operasi kemudian sudah bisa kembali beraktifitas, kecuali mengangkat yang berat-berat. Selain itu, dua siklus pertama setelah laparoscopy, pasien biasanya merasakan sakit menstruasi atau ovulasi yang teramat sangat, bahkan melebihi sakit pra-operasi. Ini yang membuat saya ngeri. Selalu saja ada pertanyaan if it would be worth the cost, the pain, the time, etc.

Akhirnya mendapat giliran operasi juga?

Ya, panggilan untuk operasi datang setelah ngantri selama tujuh bulan. Well ya.. oke… saya cuti selama seminggu karena saya pikir itu cukup untuk pemulihan. Operasi kecil ini… lagi-lagi saya meremehkan. Pada hari operasi itu, 25 Januari 2016, saya masuk rumah sakit pagi pukul 9.00. Tapi antrinya panjang… baru masuk teater operasi jam 1 siang. Dan saya baru dipindahkan ke meja operasi jam 2.30 siang. Saya menyerah pada obat bius. Begitu keluar ternyata sudah pukul 5.45 sore. Gosh.. ternyata operasinya memakan waktu tiga jam.

Karena kondisi yang lemah saya akhirnya stay overnight. Keesokan harinya saya baru boleh pulang. Saya juga langsung berjalan menuju apotik untuk mengambil obat. Ga kerasa… begitu masuk mobil, sakit menyerang. Begitu sampai rumah, saya menangis sejadi-jadinya karena saya tidak bisa meletakkan tubuh saya dalam posisi apapun karena sakit. Untung dokter memberi saya bekal Codapane Forte dan Endone untuk mengelola rasa sakit yang amat sangat ini.

Apa diagnosa setelah operasi?

Saya diberi tahu bahwa endometriosis saya tergolong parah. Dokter mengatakan jika ada skala 0-6, maka endometriosis saya itu skala 4.5. Pada saat itu saya merasa validated. Oh.. ternyata apa yang saya rasakan itu memang benar endometriosis. Tapi shocked juga karena saya yang merasa sakitnya nggak sampai pingsan-pingsan aja skala parahnya bisa sampai segitu. Berarti yang sampai pingsan-pingsan itu skalanya berapa?

Endometriosis saya jenisnya rectovaginal, dan juga ada yang endometrioma. Saya juga punya adenomyosis tapi dokter tidak menyayat untuk yang ini. Ovarium saya nyangkut diantara tuba fallopi dan rahim bagian belakang, ya keduanya. Endometrioma dan obliterated ovaries ini yang membuat saya kesakitan ketika ovulasi. Rectovaginal endometriosis ini yang bertanggung jawab atas sakit yang tak tertahankan di bagian bawah punggung dan pingang. Saya masih dalam masa pemulihan, bahkan sampai tiga bulan setelah operasi. Tapi bukan berarti saya harus bedrest terus. Tapi saya harus aware ada episode-episode sakit yang menggila pada masa ini.

Bagaimana masa pemulihan waktu itu?

Seminggu setelah laparoscopy saya praktis hanya bedrest dan kalau perlu ke kamar mandi saya memerlukan bantuan. Suami dan teman-teman bergantian menjaga. Seminggu berikutnya saya sudah lebih bisa bergerak dan mandiri, meskipun masih minimal. Saya tidak keluar rumah sama sekali selama dua minggu. Arrgh… disini mulai muncul rasa menyesal karena saya kehilangan waktu. Saya mulai menyalahkan diri sendiri karena sakit.

Minggu ketiga, saya pikir saya sudah sembuh. Saya beraktifitas seperti biasa di kampus. Saya berjalan sejauh 1 km dari universitas ke stop bis di kota. Malamnya saya menuai badai. Sakit yang tak tertahankan. Dari situ saya mengetahui kalau informasi tentang laparoscopy yang saya terima kurang lengkap. Pada minggu ketiga dan keempat saya hanya kuat bekerja setengah hari. Saya juga sangat cepat lelah. Praktis sebulan hilang begitu saja. Dan kamu tahu kan, apa arti waktu untuk mahasiswa PhD.

Bagaimana Evi menjalani hari-hari sekarang ini?

Pada minggu-minggu berikutnya selama dua bulan setelah operasi saya mulai bisa bekerja dengan normal kecuali pada saat menstruasi dan ovulasi. Sakit sekali. Selain itu yang saya amati adalah ketika menstruasi pasca laparoscopy ini, volumenya lebih banyak. Hari kedua dan ketiga, saya bisa menghabiskan sekitar enam atau tujuh pads ukuran maxi. Hari pertama bisa menghabiskan tiga pads, hari ke-empat dan lima bisa empat pads. Kulakan deh kalau pas mau mens.

Dengan keadaan begitu, saya harus memperhatikan iron intake dan juga konsumsi air saya harus ditambah. Jangan sampai lemes. Ternyata masa pemulihan itu sangat beragam diantara para perempuan. Mungkin saya termasuk yang lama. Saya tidak pernah lupa membawa parasetamol dan ibuprofen di tas saya, demi kesejahteraan.. hahaha…

Sekarang saya memilih untuk menekan hormon estrogen dengan mengkonsumsi pil KB. Menstruasi tidak sebanyak tiga bulan pertama pasca laparoscopy dan sakit ovulasinya jauh berkurang karena memang pil KB preventing me from ovulating. Lebih manageable lah sekarang. Tapi ya itu berari saya dan suami harus menunda untuk program kehamilan mungkin sampai nanti kelar PhD nya. InsyaAllah.

Sekilas dari cerita Evi, selain beban fisik, ada beban psikologis yang Evi rasakan?

Sangat ya. Kebayang ga sih ketika merasa kesakitan terus dokter atau teman-teman yang tidak memahaminya (dan itu banyak, seperti yang saya ceritakan di atas) melihat saya seperti anak manja yang ga tahan sakit. Like, when they say.. semua perempuan juga sakit kalau pas datang bulan. Atau sakit ketika ovulasi itu biasa. Itu bahkan bagus bisa mengenali masa subur – bagus kan untuk merencanakan keluarga. Menormalkan rasa sakit ini yang menyakitkan. Ini membuat saya berfikir bahwa saya memang manja, nggak tahan sakit, malas bekerja, dan suka melebih-lebihkan sesuatu yang normal dan mungkin remeh.

Apa dampaknya?

Ya, saya mau tak mau harus membangun keterampilan unutk menyembunyikan rasa sakit dan meningkatkan toleransi saya pada rasa sakit. Saya selalu menyemangati diri saya agar bisa melawan rasa sakit tanpa obat. Saya tidak mau terlihat lemah dan manja. Sehingga saya sering menyalahkan diri sendiri untuk deadline yang tidak terpenuhi, untuk berada di atas tempat tidur dan memeluk botol berisi air panas selama beberapa hari, untuk hilangnya waktu bersama teman-teman, dan banyak hal.

Terkait disertasi, pada bulan April 2016, misalnya, saya menjanjikan diri sendiri untuk menyelesaikan dua tulisan, eh tiba-tiba sakit ovulasi teramat sangat menyerang sejak hari ke 11 siklus saya. Dan skala sakitnya semakin meningkat sampai memuncak pada hari ke 13-15. Saya tidak bisa mencari dokter tanpa membuat janji terlebih dahulu. Mana akhir pekan pula. Dan saya agak malu kalau ke departemen gawat darurat di rumah sakit “hanya untuk sakit ovulasi” dan mendapatkan parasetamol. Sebegitu hebatnya pertahanan saya terhadap rasa sakit. Painkiller sudah tidak mempan lagi. Saya kesakitan dan kurang tidur.

Setelah operasi, apakah kondisi fisik jauh membaik?

Tiga bulan setelah laparoscopy, saya bangun dengan rasa sakit teramat sangat. Antara mau ke rumah sakit tapi hesitant to call it an emergency case, tapi sakit banget sampe nggak bisa berdiri atau duduk. Suami saya yang siap melakukan apa saja yang saya minta ikut bingung melihat kondisi saya.

Banyak sekali pertanyaan dalam benak kami.. apakah endo nya sudah tumbuh lagi? Karena memang penyakit ini ga ada obatnya, dan laparoscopy pun belum tentu bisa menghilangkan keseluruhan endomestriosisnya. Saya percaya dokter saya telah melakukan yang terbaik. Tapi mungkin ada jaringan endo yang tidak terjangkau atau terdeteksi olehnya ketika melakukan operasi. So I need to take another test.

Saya bisa saja salah.. karena pada umumnya perempuan yang menjalani laparoscopy akan mengalami sakit yang teramat sangat pada dua siklus sesudahnya. Dua siklus saya setelah laparoscopy memang sakit. Tapi menurut pengamatan suami saya, tidak melebihi yang sebelum laparoscopy. Jika dikatakan excruciating pain, dua itu belum sampai pada level itu. Kali ini sakitnya menurut skala saya 8 atau 9 dari 10. Senin siang, itu mungkin 10/10.

Saya minta diantar ke walk-in center untuk minta nasehat apakah saya harus ke rumah sakit. Perawat melakukan tes urin untuk mengetahui ada tau tidaknya infeksi. Hasilnya negative. Dan akhirnya ya apalagi kalau bukan endo… Dan sampai saat itu, hari ke 20, saya masih merasakan sakit itu, meskipun derajatnya berkurang. Tapi saya sudah kehilangan setidaknya seminggu waktu aktif saya. Saya bertekad untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang apa yang saya alami.

Sekarang setelah memutuskan untuk menunda program kehamilan dan minum pil KB, saya merasa lebih baik. Rasa sakit pada saat menstruasi dan ovulasi sudah jauh berkurang.

Setelah laparoscopy, apakah potensi untuk kehamilan jadi meningkat?

Jawabannya iya dan tidak. Iya, jika endometriosisnya letaknya tidak di tempat-tempat strategis seperti tuba fallopi. Tidak jika endometriosisnya cepet tumbuh lagi.. hehehe… Beberapa teman dan keluarga juga menanyakan apakah setelah laparoscopy ini saya memiliki potensi untuk hamil. Another bomb was dropped setelah operasi, dokter menyatakan bahwa tuba fallopi saya tersumbat sehingga sel telur tidak pernah mencapai tuba fallopi, apalagi rahim. Dokter menyatakan saya memiliki 0% kesempatan untuk hamil secara alamiah. This is another level of life drama.

Pesan apa yang ingin Evi teruskan untuk para perempuan terkait pengalaman ini?

Ya, jangan remehkan rasa sakit (baik di perut atau anggota badan lainnya misalnya pinggang, panggul, pangkal paha, punggung bawah) pada saat menstruasi dan ovulasi.Jika menurut Anda sudah tidak tertahankan, nggak perlu nunggu sampai pingsan-pingsan ya, segera carilah pertolongan dan informasi sebanyak-banyaknya.

Tapi saya bersyukur saya bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat berbagai keputusan atas tubuh saya. Suami saya juga sangat mendukung upaya-upaya saya untuk sehat, meskipun dia juga kadang bingung harus ngapain ketika saya kesakitan. Dia dengan sabar mengganti air di botol air panas saya dan mengantar saya kemanapun saya perlu pergi untuk berobat.

Bagaimana Evi dan suami merefleksikan pengalaman ini?

Ya, setelah melewati beberapa krisis, kami mulai berdamai dengan kondisi kesehatan reproduksi saya. Saya bilang kepadanya bahwa secara hukum perkawinan di Indonesia, dia bisa mendapatkan license to take another wife (menurut saya dasar hukumnya sangat patriarkis).

Untungnya dia bukan tipe yang dengan senang hati mengambil patriarchal dividend itu. As we have vowed to grow old together. If it turns out to be just the two of us, then we are not less happy than other couples who are blessed with children.

Jadi sekarang ga usah nanya-nanya kapan kami punya anak ya… doakan saja terjadi keajaiban. Sambil kami juga akan berusaha yang sesuai dengan kemampuan dan keyakinan kami. Kami akan minta nasehat jika kami rasa perlu. What I can assure you, insyaAllah kami berdua tetap bahagia dan akan berusaha membuat hidup kami bermanfaat.

Dan benar, ada banyak cara untuk mereguk kebahagiaan dan membuat diri merasa bermanfaat. Lewat menulis salah satunya, dan juga lewat mengajar. Belum lama ini, my students made me feel showered with love and care amidst the frustration and chaos happening in the past two weeks.

They baked a nice choc cake, brewed green tea, brought cups of coffee, packs of juice, sandwiches, popcorn… best things that could ever happen in a class discussing about power, hegemony, discourse, language etc… hehehe.

Hal-hal kecil seperti mendapat apresiasi di kampus dari mahasiswa kelas yang saya ajar ini menjadi keindahan-keindahan sederhana yang membuat hidup saya semakin bermakna.

13221335_10154897324911562_5189477567819755084_o-2
Bersama mahasiswa-mahasiswa saya yang begitu antusias di kelas

5 thoughts on “PhD Mama Evi: endometriosis, disertasi dan buah hati

  1. Very touching story, mba Evi. Interestingly I have almost similar experiences. I have been suffered from endo since 2011. Semangat mba. Thanks for sharing this beautiful piece of writing.

    Like

  2. hallo, mbak evi.

    salam kenal, saya juga endowarrior 🙂 i know how it feels. saya malah harus kehilangan satu ovarium dan juga appendiks baru dapet kejelasan bahwa saya menderita endometriosis. may we defeat all of the endopain, aamiin 🙂

    Like

  3. Hallo mba evi,

    Salam kenal, saya kebetulan juga orang malang dan punya endometriosis seperti mba juga. Saya juga udah pernah melakukan hsg,histerescopy, laparoscopy, dan terapi hormon 6 bulan, namun ternyata endo tumbuh lagi. Sampai dengan saat ini saya masih tetap berjuang untuk mendapatkan momongan. Mungkin next time, kita bisa sharing tentang terapi endo ya mba

    Like

Leave a comment