PhD Mama Ika: Bang Thoyib dan Mengurus 5 Anak

Mbak, bagaimana kisah awal bisa mengasuh 5 anak sambil PhD?

Jadi ceritanya, saya mulai studi PhD akhir tahun 2008, waktu itu sambil sibuk mengurus satu anak si sulung (7 tahun), sementara anak kedua yang saat itu berumur 2.5 tahun masih di Indonesia karena suami masih ada komitmen dengan pekerjaan. Kami sempat Long Distance Relationship (LDR), susah ya, namun hikmahnya saya jadi betul-betul ngebut sehingga saya bisa confirmation di bulan ke-8 studi saya sementara umumnya rekan-rekan lain dalam waktu 10-12 bulan baru confirmation.

Studi saya lancar sampai kemudian di semester ke-6 primary supervisor saya pindah ke Institusi lain. Disaat yang bersamaan saya mendapat kritikan hebat dari secondary supervisor dan diminta untuk merevisi draft saya secara drastis, saya ikuti kritik itu karena saya ingin thesis saya adalah usaha saya yang terbaik. Akhirnya secondary supervisor saya naik posisi jadi primary.

Yang paling saya ingat ketika itu, karena saya harus memulai penulisan thesis saya dari awal lagi, maka saya dan suami yang semula berkeinginan menambah satu anak lagi (siapa tahu dapat anak laki-laki melengkapi dua putri sebelumnya), mengurungkan niat karena melihat tuntutan thesis setelah ganti supervisor.

Suami saya bahkan bilang ‘Ya sudah, aku mengundurkan diri, punya anaknya di Indonesia saja’. Namun, Yang kuasa berkehendak lain, 6 bulan sebelum due date thesis saya, tiba-tiba mulai ada morning sickness. Meski di luar rencana kami, Alhamdulillah ternyata diberi rejeki anak ketiga, akibatnya studi terpaksa tertunda.

419412_3203334493737_1076155683_n.jpg
Saat kelahiran anak ke tiga

Seperti apa cerita ketika tahu hamil keempat kali ternyata kembar?

Kalau kehamilan keempat, ini benar-benar di luar prediksi, putra ketiga saat itu berusia 14 bulan, dan seperti kehamilan ketiga due date penulisan thesis saat itu tinggal 4 bulan lagi, karenanya saya sedang sangat intensif di kampus bahkan setiap hari saya ke office dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam demi selesainya studi saya, waktu itu awal 2013 dan saya harus submit Juli 2013. Namun lagi-lagi Sang Pemilik Kehendak mentakdirkan hal yang lain. Kami sekeluarga diberi rejeki tak terduga. Sempat shock dan bingung saat itu, masak studi saya harus tertunda lagi.

Lebih mengejutkan lagi, saat saya melakukan pemeriksaan ultrasound, petugasnya tersenyum dan berkata ‘I have a surprise for you’. Ternyata baby (atau babies saya tepatnya) kembar!

“Saya sempat berteriak kecil Astaghfirullah sambil memegang kepala saya berkali kali saking kagetnya karena tidak ada history of twins dalam keluarga saya maupun suami. Di luar ruang USG, ketika saya sampaikan kepada Suami, beliaupun kaget setengah mati dan bergumam agak keras ‘Oh My God’ sampai orang orang di sekitar kami pada tertawa.”

Anak-anak senang sekali dengan berita ini, sementara saya dan suami menguatkan diri karena tidak menyangka akan dapat kembar. We prepared for the fourth child, instead we were gonna have the fourth and the fifth. Saat itu we thought that our twins are blessing in disguise. Di tengah masa berat studi saya, mereka melengkapi kebahagian keluarga kami dengan kelucuan dan kecantikan mereka. Alhamdulillah.

Bagaimana sulitnya mengatur waktu antara studi dan mengasuh bayi?

Beruntungnya anak saya yang ketiga bisa masuk childcare karena pemerintah Australia masih memberikan childcare benefit untuk penerima beasiswa selain AusAID ketika itu. Lain ceritanya dengan the twins – Saya tidak berani mendaftarkan si kembar untuk mendapat child care benefit karena kuatir ditolak, saat itu banyak pengalaman kurang baik dari teman-teman yang aplikasinya ditolak Centrelink. Jadi saya mengasuh sendiri baby kembar saya ditambah putra dan 2 putri yang Alhamdulillah sudah besar dan sigap membantu.

Seperti apa tantangannya setelah kelahiran si kembar?

Seperti kehamilan sebelumnya jadwal penyelesaian thesis saya terpaksa harus mundur lagi. Tapi saya bertekad untuk bisa selesai dan pulang dengan gelar PhD. Maka saya tidak kenal menyerah meskipun terkadang sangat capek, ya.

Ada yang menyangka saya dan suami sengaja memperlama masa studi saya dengan hamil lagi atau ada yang bilang kami sengaja ingin tinggal berlama-lama di Australia? Well, excuse me, saya lho sering bertengkar dengan suami (tertawa). Terus terang, ujian kami cukup berat saat itu. Kami berdua dilanda kelelahan fisik dan mental, plus ada bayi kembar, 1 toddler dan dua teenagers yang harus diurus.

10623401_10203830273548749_6396763528108061440_o
Si kembar (anak ke-4 dan ke-5) yang menemani saya mengerjakan thesis di rumah

Ditambah lagi setiap hari saya menunda submission, setiap hari pula kami harus menambah membayar tuition fee saya yang dihitung daily basis. Akhirnya suami kerja keras untuk membayar tuition fee setelah beasiswa saya sudah habis di tahun ketiga. Karena suami banyak bekerja di luar rumah, otomatis saya harus bisa menyelesaikan thesis sambil mengasuh si kembar.

Anak saya yang pertama bahkan pernah mengenang beratnya masa-masa itu dan pernah bilang ‘You know, Mommy. Sometimes I felt that I was lost when we were in Melbourne, coz you are too busy with your thesis and the twins.’ Ibu mana yang gak tersentuh mendengar ini tapi Alhamdulillah kita bisa melewatinya dengan baik.

Saski dan Niar, putri pertama dan kedua kami lah yang banyak menolong saya ketika itu, they helped me a lot, sementara suami sibuk bekerja menanggung beban pengeluaran keluarga yang cukup berat mengingat kami keluarga besar dan tanpa beasiswa.

“Kesabaran dua putri saya dan suami inilah yang memicu saya untuk bisa menyelesaikan studi. Dukungan dan ‘omelan’ suami terutama yang membuat saya bertekad untuk segera mengumpulkan thesis saya karena terkadang tantangan di akhir studi ini adalah menghindari untuk jadi perfectionist, mengulang terus proses fine editing.”

Apa hikmah yang Mbak dapat setelah melalui tekanan yang begitu berat?

Ya, beratnya tekanan itu tidak bisa dihindari. Anak saya sempat harus bolos sekolah 2 hari untuk mensupport saya agar bisa submit saat itu. Alhamdulillah, happy ending.

“Jadi dibalik perjuangan yang berat, keluarga kami juga menjadi lebih kuat dan saling support. Anak-anak masih suka kangen dengan kehidupan di Melbourne meski kami sempat hidup dalam tekanan selama di sana. Mereka ingin bisa kembali ke sana. Semoga ada kesempatan ya.”

10309618_10203265432748082_1861573567757867537_n-2
Suasana di rumah yang hangat saat ulang tahun suami meski wajah kami tak dapat menutupi rasa lelah itu

Apa cerita yang paling tak terlupakan terkait masa-masa berat itu?

Terus terang, saya sempat uring-uringan karena suami yang terus mengejar saya untuk submit. Sampai ada satu file yang saya beri nama ‘Papa Jahat’ (tertawa), yang sekarang saya mengakui karena justru karena kejadian itu perjuangan saya bisa sampai titik akhir. Bersyukurlah ada file maha dahsyat itu.

Adakah pesan khusus untuk rekan-rekan yang sedang berencana mengambil studi PhD?

My case is extraordinary, beasiswa sudah habis dan harus take care a lot of kids, semoga teman-teman yang lain perjuangannya lebih mudah.

Yang pasti harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, gimana biaya hidup, culture, gimana sehari-hari disana. Pernah juga merasakan hidup berjauhan, long distance dengan suami, itu berat. Tapi alhamdulillah selalu ada saja kemudahan dibalik kesulitan itu dan hikmah dibalik semua.

45719_1459016886887_1798993_n.jpg
Menikmati kota London saat berkunjung dalam rangka conference

Apakah Mbak Ika melihat PhD sebagai ujian tersendiri dalam berumah tangga?

Ujian yang sifatnya positif ya, meski saya dan suami sering arguing or even fighting saat itu, bahkan di ucapan terimakasih di thesis untuk suami saya bilang ‘Thank you for providing me with an ADS scholarship (Atas Dukungan Suami scholarship), ‘hope there will be no more arguing after this thesis submission, Honey.

“Alhamdulillah saya selalu merasa bahwa PhD ini tidak akan tercapai tanpa dukungan luar biasa dari suami serta putri-putri dan putra saya. Saya selalu respect pada suami. Ada masa-masa dimana suami seperti Bang Thoyib yang tidak pulang-pulang karena sibuk kerja diluar namun semua dilakukannya untuk keluarga kami.”

Hikmah PhD ini selain untuk karir ke depan dan kebaikan keluarga kami adalah rasa sayang dan cinta kami pada satu sama lain makin kuat, dan …ups sekarang suami makin sering bilang ‘I love you’ jika saya harus meinggalkan rumah karena tugas sebagai dosen sekaligus kepala departemen. Alhamdulillah, all the struggle is paid.

61691_1507179970934_3791703_n.jpg
Bersama suami yang menjadi sponsor utama studi saya di tahun-tahun terakhir

 

One thought on “PhD Mama Ika: Bang Thoyib dan Mengurus 5 Anak

  1. benar benar luar biasa…….hebat….air mata saya terjatuh membacanya. selamat…dan terima kasih sudah share, benar2 sgt menguatkan. Sukses karir dan keluarganya.

    Like

Leave a comment