PhD Mama Lia: Sekolah itu Rejeki Keluarga

Published by phdmamaindonesia on

Hai Mama!

Kali ini saya berkesempatan ngobrol dengan Mbak Lia, yang baru memulai studi doktoralnya tahun lalu. Mbak Lia banyak bercerita tentang pentingnya dukungan keluarga sebelum memulai perjalanan panjang sebagai mahasiswa doktoral, selamat menyimak ya!

Bagaimana cerita awalnya bisa hijrah sekeluarga ke Australia untuk studi S3?

Jadi ceritanya, saya selesai mengambil gelar master di Australia 5 tahun yang lalu. Berhubung saya kerja di Bappenas yang membutuhkan banyak lulusan doktoral untuk mendukung fungsi lembaga, kami rata-rata di encourage untuk ambil PhD. Namun saat itu saya terpikir orang tua saya, ayah sudah tidak ada jadi tinggal Ibu sendirian. Kakak-pun saat itu sedang di luar negeri. Saya kemudian memutuskan ya sudahlah, PhD optional saja, di dalam negeri juga boleh.

Kemudian pada suatu titik saya ngobrol dengan suami. Kita sudah kembali ke Indonesia 5 tahun, alhamdulillah hidup stabil, tapi kita jadi complacent, merasa puas, merasa nyaman, padahal ada sesuatu yang ingin kami capai diluar itu semua.

Ya intinya saya dan suami ingin mengembangkan spiritualitas, ingin banyak waktu belajar agama, kami pun teringat masa-masa waktu studi Master di Australia diberi banyak kesempatan tidak hanya belajar ilmu dunia tapi juga ilmu akhirat.

Jadi lah saya mempertimbangkan untuk sekolah lagi, tapi terpikir juga suami harus resign dari pekerjaannya dong?

Tetapi apa kata suami saya saat itu? Ini yang saya pegang terus dari suami: “rejeki bukan manusia yang atur, rejeki itu Allah yang jamin. Niatkanlah keputusan yang kita ambil yaitu mengambil sebuah tantangan baru dalam kehidupan adalah karena Allah.”

Jadi saat itu kami sudah membulatkan niat mau hijrah, baru mendaftar beasiswa.

Ini yang saya pegang terus dari suami: “rejeki bukan manusia yang atur, rejeki itu Allah yang jamin. Niatkanlah keputusan yang kita ambil yaitu mengambil sebuah tantangan baru dalam kehidupan adalah karena Allah.”

Apakah suami tidak ada keraguan?

Ya suami bilang, intinya, kita nggak usah takut.. jangan jadi kurang percaya sama Allah. Ketakutan seperti “nanti udah umur sekian gimana karir?” Tapi kalau membandingkan dengan pengalaman sebelumnya, ketika pulang Master pun, dibuktikan sama Allah kalau kita pasrah percaya sabar, insyaaAllah rejeki dijamin semua.

Yang penting adalah proses kita sebagai keluarga mengambil tantangan baru, mencari pengalaman baru untuk kebaikan anak juga.

Bagaimana respon anak ketika disampaikan akan pindah ke Australia?

Sempat ada sedikit kegelisahan. Saya lihat itu wajar, ya karena sudah punya teman, berat hati, pindah sekolah kan gimana gitu rasanya.

Cuma anakku itu tidak terlalu fussy, dia bisa diajak ngomong, bisa menerima, nggak terus marah. Meski dia bertanya juga, kok semua repot, kenapa mama harus sekolah lagi? Ya kami berdoa terus agar mudah penyesuaiannya.

Ketakutan juga ada. Takut tidak diajak teman, tidak bisa bahasa Inggris. Tapi kita kasih bekal conversation, minimal bisa bilang “mau ke toilet, saya lapar, saya pusing,” yang penting-penting (tertawa). Tapi alhamdulillah dia langsung menikmati.

Kalau saya lihat, dari siswa-siswanya, di MPS (Moreland Primary School) ini mereka sangat terbiasa menerima orang dari etnisitas yang berbeda, jadi dengan mudah bisa nerima anakku. Dia tidak pernah merasa tidak diajak main.

Yang diceritakan pertama kali di sekolah: “tadi saya diajak main bola.” Setelah sekolah 2 minggu, sekolah menjadwalkan fieldtrip ke IMAX Melbourne Museum, tiba-tiba dia sakit. Dia menangis karena ingin masuk sekolah. Itu sign buat saya, bahwa dia betah di sekolah. Tentunya kalau anak bahagia saya juga bahagia.

Satu cerita lagi, waktu itu anak saya terlambat mau upacara, atau yang disini lazim disebut assembly. Lalu ada siswa yang melihat dan tahu anak saya baru, siswa itu merangkul anak saya, memberi tahu jalan. Tidak ada guru saat itu, tapi siswa itu tahu, ini anak baru perlu dipandu. Dari situlah saya terkesan dengan sikap anak-anak disini yang begitu hangat dengan pendatang baru, yang boleh jadi adalah hasil didikan guru dan orang tua di rumah juga.

Saya juga sangat berlega hati karena di MPS ini anak saya yang sudah berusia 9 tahun bisa shalat dzuhur di sekolah dan shalat jumat.

12240834_10153400682022779_4739002432496673117_o-2

Ikut meramaikan acara penggalangan dana di sekolah anak

Boleh cerita sedikit tentang studi PhD nya mbak?

Saya masih tahap mempersiapkan diri untuk confirmation of candidature. Intinya riset saya melihat desentralisasi di Indonesia dan kaitannya dengan pembangunan regional. Dari pengalaman kerja saya melihat, ada mismatch.

Terutama ketika desentralisasi diharapkan menghasilkan pembangunan, sementara sebetulnya ada aspek politik yang kurang dibahas. Desentralisasi dianggap gagal, padahal boleh jadi wajar karena motivasi awalnya bukan itu.

Walaupun ada banyak teori ekonomi dibalik desentralisasi dan institutional change, jangan-jangan efek yang lebih besar adalah pada political development, itu yang saya lihat, dampak desentralisasi pada perubahan institusi.

Jika ada teman-teman yang tertarik mengambil PhD, apa pesan mbak Lia?

Meski saya baru setahun, saya merasa perjalanan PhD ini ada beberapa hal yang dulu dibayangkan ketika dijalani tidak sama dengan kenyataaan. Jadi kembali ke bagaimana kita menyesuaikan antara ekspektasi dengan kondisi yang dihadapi.

Stress pasti ada, tapi bahagia karena bisa melihat perkembangan anak secara intense seperti disini saat menjalani PhD, ya itu tak ternilai. Terus terang saya jadi punya lebih banyak waktu mengurus keluarga karena tidak kehabisan waktu di perjalanan, meski saat sibuk ya sibuk juga dengan urusan riset.

Kemudian akses pada sumber informasi akademik juga luar biasa. Satu lagi, apapun itu tantangannya, jangan takut karena disini teman-teman sudah jadi seperti keluarga sendiri, jadi ya itu sangat menguatkan.


phdmamaindonesia

Blog phdmamaindonesia.com digagas oleh Kanti Pertiwi, Ph.D, pada tahun 2016. Blog ini memuat cerita-cerita seputar perjalanan studi PhD serta strategi menjalani studi dari perspektif perempuan. Kirimkan tulisanmu ke Tim Redaksi di phdmamaindonesia@gmail.com

1 Comment

santun · June 10, 2017 at 2:52 pm

halo mbak..salam kenal,saya mau nanya jam kuliah utk phd research,apakah fleksibel atau seperti by coursework? Saya dan suami sama2 ambil phd research dan bawa anak kami usia 2 tahun. Apakah memungkinkan jika anak tidak dititipkan di daycare? Kami berniat bergantian jaga anak. Terimakasih jawabannya mbak.

Leave a Reply

%d